Readtimes.id– Kecanggihan teknologi yang menawarkan kemudahan mengakses pengetahuan dan keterampilan nampak menjadi alarm bagi pendidikan tinggi untuk segera berbenah jika tak ingin ditinggalkan para mahasiswanya.
Hal ini bisa dilihat dari munculnya sejumlah penyedia layanan pendidikan dan pelatihan daring, yang kini semakin diminati para kelompok muda atau generasi milenial untuk menimba pengetahuan dan keterampilan tanpa harus kuliah dengan jurusan serupa.
Jabal Rachmat Hidayatullah (25) pemuda asal Pinrang, Sulawesi Selatan, mengaku tertarik mengikuti kelas maupun kursus yang diadakan berbagai platform online karena selain aksesnya yang mudah, materi-materi yang didapatkan juga lebih aplikatif ketimbang yang pernah ia dapatkan di bangku kuliah.
“Materi-materi yang saya dapatkan jauh lebih aplikatif dan mengikuti apa yang dibutuhkan pasar hari ini, berbeda dengan yang ada di bangku kuliah yang menurut saya secara kurikulum pun masih ketinggalan,” terangnya pada readtimes.id.
Laki-laki yang pernah melanjutkan studinya di Ilmu Komunikasi sebuah kampus negeri di Kota Makassar ini bahkan mengaku tidak hanya mengambil satu kelas saja. Setidaknya ada tiga kelas yang pernah ia ikuti, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Di antaranya kelas pemrograman dasar oleh platform Dicoding, copywriting untuk meningkatkan penjualan di Skill Academy, dan kelas digital marketing dari platform RevoU.
“Saya mengambil kelas sesuai kebutuhan, ada yang gratis dan ada yang berbayar. Namun meskipun berbayar, rata-rata menurut saya sesuai dengan apa yang saya dapatkan,” tambahnya.
Menurutnya ini juga sejatinya tidak terlepas dari dukungan tenaga pengajar atau mentor yang berpengalaman di bidang terkait yang dihadirkan oleh platform online tersebut. Sehingga, selain mendapatkan pengetahuan dari materi yang sudah disiapkan, para peserta juga bisa belajar dari pengalaman yang dibagikan para pengajar atau mentor.
Hal yang menurut Jabal harusnya bisa diikuti oleh dosen atau tenaga pendidik yang ada di kampus hari ini, ketika memberikan materi perkuliahan di kelas.
“Karena yang saya amati dosen-dosen kita hari ini selain banyak yang tidak update secara teori, tidak sedikit dari mereka juga punya hobi curhat di kelas, di mana sebenarnya tidak ada korelasinya juga dengan perkuliahan yang dibawakan,” ucapnya.
Baca Juga : Robohnya Pilar Kampus Kami
Selain Jabal ada Tiana Zahro ( 22), seorang mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional sebuah kampus swasta di Surabaya yang juga mengaku mengambil kelas di sebuah platform online. Tujuannya untuk menambah wawasan terkait beberapa mata kuliah dan mempelajari isu-isu global tertentu.
“Di Coursera (sebuah platform online) ini saya mengambil beberapa mata kuliah yang juga saya pelajari di kampus untuk tambah-tambah wawasan. Yang saya suka di sini karena dosen-dosennya dari berbagai kampus ternama dari luar negeri jadi kajiannya lebih lengkap,” terangnya.
Selain itu, dengan adanya sebuah ruang diskusi online yang disediakan oleh platform digital tersebut untuk para mahasiswa dan juga dosen yang datang dari berbagai penjuru dunia, membuat Tiana lebih mudah mengetahui isu-isu global yang tengah berkembang sekalipun tidak kuliah di luar negeri.
” Meskipun hanya kelas online tapi rasanya seperti belajar di luar negeri karena dosen dan teman kelas dari mana -mana,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Rektor Universitas Krisnadwipayana ( Unkris), Ayub Muktiono memandang bahwa fenomena tersebut pada dasarnya merupakan bentuk dari merdeka belajar bagi para kaum muda yang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu sangat tinggi.
Hal yang kemudian ia maklumi memang akan berdampak bagi perguruan tinggi yang memiliki metode belajar yang monoton serta dosen yang tidak memiliki inovasi dalam penyampaian ilmu pengetahuan ke mahasiswanya, di mana harus segera bersiap kehilangan mahasiswa.
” Dosen wajib memiliki pengalaman untuk penerapan ilmunya, sehingga transfer ilmu ada praktek yang pernah dilalui. Jika dosen hanya mengajarkan textbook akan kena disrupsi,” terangnya secara tertulis pada readtimes.id.
Kendati demikian, menurutnya di tengah ragam keterampilan yang bisa didapatkan oleh para kaum muda ini melalui platform online yang mereka ikuti, mereka sejatinya tetap tidak bisa mendapatkan sentuhan sosial empati kemasyarakatan yang hanya mampu didapatkan ketika mereka menempuh proses pendidikan secara langsung.
Hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh pengamat pendidikan Indra Charismiadji. Menurutnya berbicara mengenai pendidikan tidak akan pernah terlepas dari yang namanya umpan balik antara pendidik dan peserta didik. Hal yang kemudian sukar untuk didapatkan di dalam platform online yang menerapkan konsep e- learning tersebut.
Namun terlepas dari itu menurutnya bukan berarti pendidikan tinggi di Indonesia tidak membutuhkan sebuah transformasi dalam menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing.
Menurutnya, dengan kecanggihan teknologi digital hari ini, perguruan tinggi harus memiliki kemampuan berkolaborasi dalam menciptakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Begitu pula dengan para tenaga pendidik yang juga harus siap dengan perubahan. Caranya, membekali diri dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk mendampingi para peserta didik.
Karena menurutnya, untuk dapat bersaing di era sekarang, perguruan tinggi Indonesia tidak hanya cukup dengan menciptakan sebuah sumber daya manusia yang siap kerja saja melainkan para pencipta kerja.
“Karena era sekarang bukan lagi industri maupun manufaktur yang membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai, melainkan era dimana membutuhkan para inovator untuk menciptakan lapangan kerja,” terangnya pada readtimes.id.
Meskipun menurut Indra sampai pada di tahap itu Indonesia juga perlu merubah pola pendidikan dasar dimana memberikan ruang bagi peserta didik untuk berpikir kritis, cakap dalam berkomunikasi, kolaborasi serta kreatif. Empat hal yang disebutnya sebagai keterampilan abad 21.
Tambahkan Komentar