
readtimes.id–Semenjak diberlakukan pada pemilu 2004 , presiden threshold atau ambang batas presiden menjadi topik yang hampir tidak pernah absen dipersoalkan ketika menjelang pemilu.
Seperti yang diketahui presiden threshold dapat dipahami sebagai syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Angkanya yang terus menanjak naik sesuai dengan undang-undang yang mendasari Pilpres, menjadi salah satu yang sering digugat berbagai pihak meskipun pada akhirnya tetap diberlakukan.
Seperti yang diketahui kini angka presiden threshold telah mencapai 20 persen. Konsisten sejak pemilu 2009 meski undang-undang pemilu telah diperbaharui beberapa kali.
Kini landasan hukum dari pelaksanaan presiden treshold sendiri tertuang dalam pasal 222, undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang membahas tentang syarat partai atau gabungan partai pengusung yang bisa mengusulkan calon Presiden yakni ketika sebuah partai atau gabungan partai politik mendapatkan 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional dari Pemilu sebelumnya.
Pertanyaannya kemudian mengapa presidential threshold terus dipertahankan?
Pakar politik Universitas Hasanuddin, Sukri, saat dihubungi oleh readtimes.id memandang sejatinya presiden treshold adalah sebuah kesepakatan politik yang bisa baik di sisi tertentu namun tidak di sisi yang lain. Hal ini sangat bergantung pada tujuan awal dibentuknya peraturan tersebut.
Menurutnya jika tujuannya adalah menekan polarisasi konflik yang besar karena banyaknya kandidat Presiden yang mencalonkan dan menjamin terbentuknya pemerintahan yang kuat dan solid maka pemberlakukan angka ambang batas presiden yang tinggi menjadi salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan.
” Karena jika partai-partai ini kemudian berkoalisi tentu akan menjamin kelancaran setiap kebijakan yang diusulkan oleh Presiden dikemudian hari, karena di DPR diisi oleh sejumlah anggota partai yang berkoalisi mendukung pemerintah, ” terangnya
Seperti yang hari ini terlihat pada pemerintahan Jokowi. Dengan total 82 persen kursi di DPR yang kini menjadi pendukungnya, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi nampak tidak pernah menemukan kendala yang berarti sekalipun beberapa telah mendapat penolakan dari masyarakat.
Posisi Tawar Partai
Adapun implikasi yang muncul ketika presidential threshold dengan patokan angka tinggi berikutnya adalah posisi tawar partai yang juga tinggi.
Hal ini terjadi karena partai-partai dengan jumlah suara tinggi tentu akan merapat dengan partai-partai yang juga memiliki jumlah suara tidak jauh berbeda untuk mengusulkan Presiden untuk kemudian turut menarik partai-partai yang lainnya.
Jikalaupun ada partai – partai dengan suara kecil berkumpul dan membentuk poros baru tentu itu sangat kecil kemungkinannya, meskipun suara mereka mampu mendorong kandidat alternatif
Hal ini menurut Sukri karena partai -partai kecil ini akan memperhitungkan pula dana besar untuk sekedar memecah suara tanpa ada kepastian menang.
” sehingga dampaknya kecil kemungkinan adanya figur alternatif yang muncul, ” tambah Sukri.
Oleh karena itu pihaknya lantas menyarankan adanya kemungkinan untuk membuat angka presidential threshold sama dengan angka parliamentary threshold atau ambang batas parlemen agar partai yang telah lolos ambang batas parlemen punya hak, peluang dan posisi yang sama dalam mengusung calon pemimpin bangsa. Selain itu agar publik juga mempunyai referensi lain terkait kandidat capres yang bisa saja mempunyai gagasan-gagasan yang lebih segar dan dibutuhkan oleh publik. Hal ini bisa menjadi alternatif jika kemudian presidential threshold tidak mungkin untuk dihapuskan.
4 Komentar