Readtimes.id- Tim nasional U-19 Indonesia berhasil menggulung Myanmar, 5-1 pada pertandingan pamungkas grup A turnamen piala AFF U-19. Namun, kemenangan tersebut pada akhirnya hanya mengantarkan Indonesia menjadi peringkat 3 di klasemen akhir. Padahal, timnas memperoleh poin yang sama dengan dua tim di atasnya, Vietnam dan Thailand.
Meski mengoleksi catatan gol yang lebih baik, Indonesia terpaksa tersingkir setelah penggunaan klasemen mini di antara ketiga negara tersebut. Pada akhirnya, tim asuhan Shin Tae Yong berada di peringkat tiga karena kalah secara head to head dari dua negara di atasnya.
Tersingkirnya Indonesia secara dramatis tersebut nyatanya tidak hanya berakhir di atas lapangan hijau. Pasalnya, Vietnam dan Thailand dianggap bermain mata pada laga pamungkas dengan menurunkan intensitas permainan dan “sengaja” membuat pertandingan berakhir dengan skor 1-1.
Melihat indikasi kongkalikong tersebut, induk sepak bola Indonesia pun segera mengambil langkah cepat dengan melakukan gugatan kepada AFF. Kebijakan yang notabene diambil sebagai respon terhadap sebuah turnamen kelompok umur tersebut pada akhirnya memperlihatkan kembali kepada kita, tentang bagaimana cara kita memandang olahraga.
Olahraga merupakan sebuah langkah yang dilakukan untuk mencapai kesehatan fisik. Lewat sejumlah gerakan dalam aturan yang telah ditetapkan, olahraga diharapkan mampu memberikan kesempatan hidup yang lebih kepada khalayak. Banyaknya turnamen yang diadakan menjadi langkah kampanye agar orang-orang menggerakkan badan demi mencapai fisik yang sehat. Demikian gambaran ideal dari olahraga.
Namun, di beberapa kesempatan, orientasi terhadap olahraga bukan lagi semata untuk kesehatan tubuh, tetapi kepada prestasi semata. Lalu muncullah sejumlah janji-janji terkait prestasi olahraga yang seakan menjadi solusi untuk meningkatkan kemampuan atlet yang dikirim untuk mengikuti turnamen. Bahkan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara pemberi bonus terbesar pada para atletnya di Olimpiade Tokyo kemarin.
Sejumlah besar dana tersebut tentunya diharapkan menjadi suntikan moral bagi para atlet untuk mendorong diri pada batas maksimalnya. Namun, jika merujuk pada riset yang dilakukan oleh European Modern Studies Journal, kondisi fasilitas olahraga memiliki dampak yang paling besar terhadap prestasi seorang atlet.
Terlepas dari niat untuk memberikan apresiasi kepada mereka yang mengharumkan nama bangsa, langkah populer pemerintah tersebut seakan menjadi sebuah siklus tanpa ujung yang membuat olahraga Tanah Air tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Pada akhirnya, dana yang sewajarnya dianggarkan untuk fasilitas olahraga, malah terlalu banyak dikeluarkan untuk membiayai para atlet elit. Seakan yang berolahraga adalah para atlet saja, tidak dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Gambaran orientasi terhadap prestasi tersebut dapat kita lihat pada langkah protes PSSI kepada AFF. Terlepas dari niat asli dari Vietnam dan Thailand, Indonesia bakal tetap lolos ke babak gugur andai berhasil merebut kemenangan dari salah satu negara tersebut. Namun, fakta ini seakan tertutup oleh apa yang terjadi pada laga terakhir Vietnam melawan Thailand.
Langkah tegas PSSI menyikapi hal tersebut bisa saja didasari pada keinginan untuk menegakkan aturan. Namun, di sisi yang berbeda, hal tersebut sedikit banyak juga menjadi gambaran tentang hasrat berprestasi yang demikian tinggi. Melihat apa yang telah dilakukan PSSI dalam beberapa waktu terakhir, sudah sewajarnya jika beberapa pihak menganggap PSSI sedang mempertontonkan obsesi terhadap prestasi. Padahal, turnamen kelompok umur sedianya hadir menjadi wadah proses para atlet, bukan menjadi ajang untuk menuntut prestasi demi memuaskan obsesi terhadap prestasi.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar