Readtimes.id—Sejarah terulang kembali di atas meja Mahkamah Konstitusi pada Rabu(24/11). Uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali ditolak. Sejumlah implikasi serius menanti untuk segera ditindaklanjuti.
Seperti yang diketahui penolakan terhadap uji materi UU Pemilu ini bukan yang kali pertama, sebelumnya pada tahun 2019 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga pernah mengalami penolakan oleh MK atas gugatannya pada sistem pemilu serentak lima kotak, kendati permohonan yang diajukan oleh Perludem saat itu berbeda dengan yang sekarang.
Patut diketahui tahun ini gugatan uji materi UU Pemilu dilayangkan oleh empat orang mantan petugas KPPS Pemilu 2019 yang meminta MK untuk membatalkan ketentuan pemilu lima kotak (pemilu presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ kota) karena pelaksananya memberatkan petugas penyelenggara pemilihan di lapangan, dan bahkan hingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Adapun salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemohon adalah merombak ulang keserentakan pemilu dengan mengeluarkan pemilu legislatif daerah yakni DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kendati demikian permohonan dan solusi tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan sejumlah pertimbangan diantaranya adalah menilai beban kerja yang berlebihan, tidak rasional dan tidak manusiawi sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon sejatinya adalah sebuah implikasi dari dari manajemen pemilu yang berkaitan dengan teknis dan tata kelola pemilu dimana merupakan tanggung jawab dari pihak penyelenggara.
“Menurut Mahkamah, beban kerja berat, tidak rasional dan tidak manusiawi sangat berkaitan dengan manajemen pemilihan umum yang merupakan bagian dari implementasi norma, “ ucap Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Mahkamah juga memandang sejatinya pembentukan UU penyelenggara pemilu dengan struktur yang dimiliki sekarang, justru punya kesempatan untuk melakukan evaluasi dan kajian yang berkala terhadap pelaksana teknis keserentakan pemilu
Dihubungi secara terpisah Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengaku pihaknya menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut meskipun amar gugatannya ditolak.
Kendati demikian menurutnya ada sejumlah implikasi serius dari pertimbangan hukum MK ini. Implikasi serius itu adalah, MK menegaskan kembali, pembentuk UU belum melakukan evaluasi serius dalam menyusun kerangka hukum pemilu, setelah dilaksanakannya Pemilu 2019, khusus lagi, setelah adanya Putusan MK No. 55 Tahun 2019.
Seperti yang diketahui dalam putusan MK Nomor 55 Tahun 2019, MK menyatakan bahwa pemilihan model keserentakan pemilu akan berimplikasi pada perubahan UU pemilu. Adapun perubahan UU Pemilu harus dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang punya perhatian atas penyelenggaraan pemilu. Partisipasi adalah instrumen yang penting dalam pembuatan UU karena pemilu dinilai berdampak besar kepada publik.
“Ini terbukti dengan adanya narasi pertimbangan MK, agar pembentuk UU segera menindaklanjuti putusan MK, utamanya terkait 5 prasyarat yang harus dilalui di dalam memilih format keserentakkan pemilu,” terangnya secara tertulis pada readtimes.id
Selanjutnya pihaknya juga mengungkapkan bahwa MK juga menyebut satu contoh untuk menyelesaikan beban berat penyelenggara yakni dengan memberi jarak antara pemilu nasional dengan Pemilu DPRD. Hal ini yang kemudian menurut Khoirunnisa perlu diperhatikan serius oleh pemerintah untuk ditindaklanjuti segera.
Patut diketahui dalam putusannya MK juga menyampaikan pertimbangan untuk memberikan jeda waktu antara pemilu DPRD dengan Pemilu Presiden, DPR dan DPD.
Editor : Ramdha Mawadda
Tambahkan Komentar