RT - readtimes.id

Remisi dan Ironi Pemberantasan Korupsi

Readtimes.id– Selain tren pemberian vonis ringan terhadap kasus korupsi yang  setahun belakangan menimbulkan polemik di publik, pemberian remisi bagi napi korupsi juga demikian adanya. 

Seperti yang diketahui pada Agustus lalu dalam rangka memperingati HUT RI,Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan remisi pada 214  napi korupsi. Sebanyak 210 orang napi korupsi mendapatkan pengurangan masa tahanan. Sementara 4 orang lainnya dinyatakan langsung bebas. 

Adapun beberapa nama yang mencuat mendapatkan remisi diantaranya adalah Djoko Tjandra terpidana kasus cessie Bank Bali yang buron 11 tahun, Andi Irfan Jaya terpidana kasus suap yang melibatkan jaksa Pinangki, juga Eni Maulani Saragih terpidana kasus suap PLTU Riau -1. 

Sejumlah nama yang dinilai tidak sepantasnya mendapatkan remisi, karena sebelumnya telah mendapatkan rendahnya vonis hukuman dimana tidak sepadan kerugian negara. 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester  dalam wawancaranya dengan media juga mengungkapkan bahwa dengan adanya  kondisi tren vonis rendah  itu, ditambah adanya remisi, para pelaku korupsi dikhawatirkan tidak akan berlama-lama menjalani hukumannya.  Sehingga, tidak ada lagi efek jera yang diharapkan dapat muncul dari vonis penjara. 

Ironi Justice Collaborator 

Patut diketahui dalam pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012, disebutkan bahwa remisi merupakan hak setiap narapidana dan anak pidana.

Adapun syarat remisi dapat diberikan yakni ketika narapidana atau anak pidana  berkelakukan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan. Sementara  untuk narapidana korupsi mendapatkan dua syarat tambahan. Pertama, bersedia  bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau justice collaborator. Kedua,  telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. 

Hal kemudian dalam prakteknya masih menimbulkan polemik terutama terkait justice collaborator tak terkecuali pada kasus pemberian remisi 214 napi korupsi Agustus lalu. 

Hal ini tidak lain karena ketidakjelasan  penilaian atau standar seseorang dikatakan sebagai justice collaborator dan lembaga mana yang berwenang menentukan justice collaborator  seseorang seperti yang  diterangkan oleh pakar hukum pidana  Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin pada readtimes.id. 

Semakin diperparah ketika aparat yang berwenang dalam memberikan remisi pada narapidana korupsi juga tidak  memberikan informasi lengkap terkait kapan terpidana mendapatkan status justice collaborator. Sehingga publik hanya tahu bahwa terpidana telah memenuhi syarat  dan mendapatkan remisi tanpa tahu prosesnya.

Selain itu dalam praktiknya persyaratan justice colaborrator yang tidak transparan juga memicu ketidakadilan bagi narapidana korupsi yang dalam perjalanannya tidak diminta oleh aparat berwenang untuk menunjukkan kerja sama dengan membongkar perkara korupsi yang dilakukannya sebagai syarat mendapatkan remisi.

Seperti mantan advokat senior OC Kaligis yang kini menjadi penghuni lapas kelas 1 A Sukamiskin karena kasus suap misalnya, terhalang tidak mendapatkan remisi seperti 214 narapidana lainnya karena adanya Justice Colaborrator tersebut.

” Bagaimana mungkin saya menjadi justice colaborrator untuk hal yang sama sekali tidak saya ketahui ?,” terang OC Kaligis dalam persidangan akhir Agustus lalu.

Alhasil untuk menutut keadilan tersebut OC Kaligis menempuh sejumlah upaya yakni dengan menguji konstusionalitas norma pemberian remisi di dalam peraturan pemerintahan yang menurutnya diskriminatif.

Seperti yang diketahui ini merupakan kesekian kalinya PP 99 Tahun 2012 diuji. Sebelumnya pada tahun 2013 sejumlah napi korupsi bersama pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga mendorong agar menghapus pengetatan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat karena dalam praktiknya cenderung menimbulkan ketidakadilan.

Kendati membutuhkan penyempurnaan PP No. 99 Tahun 2012 menurut Rahman  masih perlu dipertahankan mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa atau ekstra ordinary crime, sehingga dalam proses penegakan hukum harus juga dengan cara luar biasa. 

“Friedman menjelaskan bahwa salah satu tujuan hukum yaitu kepastian akan jalannya hukum sedangkan di sisi lain ada nilai keadilan sebagai salah tujuan hukum. Sehingga dalam penegakan hukum seharusnya kita kembali pada nilai-nilai keadilan masyarakat yang telah bersusah payah dalam mengumpulkan pajak untuk pembangunan negara sementara pejabat negara menyalahgunakan anggaran negara,” pungkasnya.

Ona Mariani

8 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: