RT - readtimes.id

Revisi atau Literasi ?

“Saya minta kepada Kapolri agar jajarannya selektif menyikapi dan menerima laporan pelanggaran terhadap UU ITE. Hati-hati dengan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir, harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi UU ITE biar jelas”- Presiden Joko Widodo (15/2/2021)

Masih ingat kasus mahasiswa UMS Solo yang ditangkap setelah memposting instastory Instagram yang berisi kritik akan kebijakan Investasi Presiden?

Kejadian yang terjadi tahun lalu tersebut berujung pada penangkapan. Mohammad Hisbun Payu, didakwa melanggar undang-undang ITE utamanya pasal 28 ayat 2 menyangkut ujaran kebencian.

Jika ditelisik, apa yang disampaikan oleh Mohammad Hisbun Payu jelas adalah sebuah pesan kritik kepada Jokowi dalam konteks sebagai seorang Presiden. Walau diksi yang digunakan mungkin dipandang bermasalah dan ‘kasar’. Tapi esensi pesan dan konteks pesan yang disampaikan memang merupakan  kritik warga negara, kritik aktivis mahasiswa kepada Presiden yang mengelola negara.

Sulit dibayangkan, andaikan pada masa lalu media sosial sudah seramai seperti saat ini dan undang-undang ITE sudah ada.  Bisa jadi para aktivis di lingkaran istana mayoritas akan terjerat kasus pelanggaran undang-undang ITE karena kerap menggunakan diksi yang penuh perlawanan, ujaran kebencian bagi rezim Presiden Soeharto sampai SBY.

Pada titik inilah, harusnya penegak hukum dan negara, termasuk Presiden paham akan hakikat nilai aksiologis dalam filsafat ilmu komunikasi. Yakni, kemampuan dan kemauan untuk bukan sekedar melihat teks namun melihat konteks atau hakikat dari pesan yang ingin disampaikan. Bukan sekedar membaca dalam Prespektif ‘tekstual’ layaknya prespektif ‘delik formil’ dalam kacamata hukum yang selalu digunakan dalam memutuskan perkara Undang-Undang ITE.

Bagi hemat kami, persoalan kehebohan Undang-Undang ITE bukan sekedar soal revisi pasal-pasal karet dan bukan pula soal pedoman interpretasi dari setiap pasal. Namun yang lebih esensial adalah apa yang disebut sebagai literasi publik. Karena, media sosial layaknya sebuah ‘media’ hanyalah sarana berkomunikasi dan penyampaian pesan itu sendiri.

Secara hakikat, produsen konten tetaplah seorang manusia. Karena itu, daripada terus sibuk mengatur berbagai regulasi hukum dan melakukan revisi kembali, lebih baik pemerintah mendorong kemampuan literasi publik yang baik. Yakni, kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk menganalisis setiap peristiwa.

Termasuk mendidik publik untuk terbiasa ‘saring sebelum share’. Karena jika literasi publik ini berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot membayar buzzer atau influencer milyaran rupiah, juga tidak perlu bersusah payah kampanye anti hoax yang bisa jadi menghabiskan uang negara atau membuat aplikasi cek fakta yang menurut saya sia-sia karena akan sulit menangkal produksi proxy hoax di media sosial yang bisa terus terjadi.

Karena jika publik telah memiliki kemampuan literasi serta protokol standar untuk melakukan’saring sebelum share’. Maka, kita tidak butuh lagi polisi yang berdiri di bawah traffic light undang-undang ITE. Juga tidak lagi butuh pasukan perang buzzer yang akan menyerang setiap pandangan dan sikap yang berbeda, apalagi sekedar revisi undang-undang ITE.

Rahmad M. Arsyad

40 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: