RT - readtimes.id

Revisi UU Pemilu, Sebuah Keharusan Bagi Penyelenggara

Readtimes.id– Dengan ditemani suguhan bakso dan pempek, Jokowi mengutarakan keinginannya untuk menolak revisi UU Pemilu terutama menyangkut perihal jadwal pelaksanaan Pilkada di hadapan mantan juru bicara dan tim kampanye nasionalnya pada Pilpres 2019 lalu di Istana negara pada kamis 28 Januari 2021.

Ini merupakan kesekian kalinya, setidaknya dalam dua pekan terakhir, orang nomor 1 di Indonesia itu aktif menjalin komunikasi dengan para pentolan partai koalisi di DPR untuk mempertimbangkan kembali pelaksanaan Pilkada yang rencananya akan digelar pada tahun 2022 dan 2023 bertolak belakang dari keputusan UU Pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada yang akan digelar pada tahun 2024.

Jokowi bersikeras untuk tidak dilakukannya revisi UU pemilu serta pelaksanaan jadwal Pilkada serentak dengan dalih bahwa keputusan undang-undang sebelumnya belum dilaksanakan secara penuh, dan tak selayaknya pula setiap menjelang pemilu bermunculan pula aturan-aturan baru seperti undang-undang pemilu.

Namun ironisnya keinginan Jokowi tersebut memberatkan bagi para penyelenggara pemilu bila belajar dari pagelaran pemilu serentak pada tahun 2019 dimana dengan lima jenis kertas suara, yang banyak sekali memakan ratusan hingga ribuan korban karena faktor kelelahan akibat jadwal tahapan yang sangat padat.

Hal ini diungkapkan oleh Muhammad Iqbal Latief Ketua KPU Sulawesi Selatan periode 2013-2018 dalam dialog virtual ” Telaah Kritis Desain Pemilu” yang diselenggarakan oleh lembaga riset Indonesia Development Engineering Consultant ( ide-C) bekerjasama dengan Readtimes.id

” Kalau kita mau belajar dari pemilu yang lalu undang -undang no 7 tahun 2017 memang harus dirubah karena meninggalkan masalah yang serius terutama di tataran penyelenggara. Dan terkait pemilu lalu saya lebih ingin menyebutnya sebagai sisi kelam dari pemilu kita ” ujar Iqbal Latief

Dalam penjelasannya ia juga memaparkan jumlah korban penyelenggara yang diakibatkan oleh sebuah regulasi atau undang-undang yang tidak disusun secara matang melainkan tergesa-gesa sehingga tidak memasukkan management resiko yang akan dihadapi di lapangan.

Salah satu buktinya adalah tidak dimasukkannya regulasi tentang batas usia dalam rekrutmen KPPS, dimana berdampak pada meninggalnya anggota KPPS yang berusia di atas 50 sampai 60 ke atas karena beban kerja yang sangat berat, bahkan dalam pengamatan Iqbal jumlahnya mencapai angka 80 persen.

” Hal ini wajar terjadi karena memang dalam desain peraturan tidak ada katup-katup pengaman untuk meminimalisir resiko itu , minimal batas usia anggota KPPS” tandasnya lagi

Lebih jauh Iqbal Latief juga berharap agar dalam desain peraturan pemilu ke depan pemerintah mempertimbangkan beberapa elemen penting yakni kemampuan SDM penyelenggara, peserta pemilu serta masyarakat sebagai pemilih.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: