Readtimes.id—Devisa Indonesia terkuras sekitar Rp97 triliun per tahunnya untuk keperluan berobat dua juta WNI ke luar negeri. Dari data ini, presiden Joko Widodo akhirnya mencetuskan ide pembangunan rumah sakit bertaraf internasional sembari membangun pariwisata.
Dari data Kementerian Kesehatan, diketahui total pengeluaran bisa mencapai Rp161 triliun per tahun dan sebagian besar atau 80 persen di antaranya dengan tujuan Malaysia.
Rencananya pembangunan RS ini akan berlokasi di Bali. Oleh Kementerian BUMN dan Mayo Clinic, rumah sakit ini mulai dikerjakan tahun ini dan ditargetkan selesai pada Mei 2023.
“Semuanya ke Bali dan Bali akan menjadi tempat destinasi wisata kesehatan dan ini akan menaikkan, meningkatkan wisata orang ke Pulau Bali,” ujar Jokowi saat peletakan batu pertama pembangunan RS Internasional Bali, Senin (27/12).
Meneteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, spending orang Indonesia untuk berobat di Singapura dan Malaysia mencapai 3-5 miliar dollar AS. Sehingga, banyak uang yang keluar karena Indonesia belum mempunyai industri kesehatan bagus.
Selain itu, industri kesehatan Indonesia tidak mandiri, karena 90 persenan bahan baku obat dan alat kesehatan masih impor.
Hal lain yang membuat banyak orang lebih memilih berobat ke luar negeri adalah kondisi rasio dokter dengan masyarakat tidak ideal. Apalagi jumlah dokter saat ini semakin berkurang akibat banyak yang berguguran karena menjadi korban pandemi Covid-19.
Sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) rasio dokter umum dan penduduk idealnya 1:1000. Sedangkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 2020, rasio dokter umum di Indonesia 1:1400 penduduk, serta persebarannya tidak merata.
Sementara itu data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Paru (PDPI) pada 2020 silam mengatakan dalam satu daerah, 1 dokter paru harus melayani 100 ribu penduduk. Padahal idealnya rasio dokter spesialis 2:100 ribu penduduk.
Beberapa orang bepergian untuk perawatan karena pengobatan lebih murah di negara lain. Selain itu, pasien Indonesia mungkin melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menerima prosedur atau terapi yang tidak tersedia di Indonesia. Prosedur paling umum yang dilakukan dalam medical tourism mencakup bedah kosmetik, kedokteran gigi, dan bedah jantung.
Banyak rumah sakit di luar negeri yang telah mendapatkan akreditasi Joint Commission International (JCI) dan International Organization Standardization (ISO) 9000. Label sertifikasi internasional pada akhirnya membuat orang lebih percaya dengan kualitas pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh rumah sakit atau klinik di luar negeri.
Alasan terakhir yang sering dijadikan alasan utama orang Indonesia untuk berobat ke luar negeri adalah liburan. Meskipun tidak semua, namun sebagian orang yang berobat ke luar negeri juga melakukan travelling.
Hal ini pula yang mendasari pembangunan RS internasional di Bali selain untuk meningkatkan fasilitas kesehatan juga untuk menarik wisatawan ke Bali sebagai pulau yang terkenal sebagai destinasi wisata
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, dibanding berfokus pada pembangunan satu RS bertaraf internasional di Bali, lebih baik pemerintah fokus pada pemerataan layanan bagi RS-RS di daerah dulu. Pasalnya, pelayanan berkualitas secara merata lebih penting dan lebih dibutuhkan ketimbang membangun satu RS kelas internasional saja.
“Kalau kita lihat pada tingkat daerah, masalah dasar seperti perspektif kesehatan untuk infrastruktur kita masih terdapat kesenjangan yang tinggi,” ujar Yusuf.
Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan bahwa ada dua fungsi utama Bali International Hospital. Keduanya adalah kawasan pariwisata kesehatan di Sanur Bali dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan investor di Indonesia.
Menurutnya rumah sakit (RS) BUMN bertaraf internasional tersebut, selain membantu Bali untuk mempunyai pariwisata baru di sektor kesehatan, RS juga diharapkan bisa mendukung pelayanan kesehatan bagi para investor yang pekerja di Indonesia.
“Karena investasi itu artinya juga mereka ingin memastikan kesehatan mereka terjamin, standar kesehatan internasional untuk pekerjanya ataupun para profesional yang ada di Indonesia. Karena itu penting sekali platform kesehatan ini kita bangun di Bali, Bapak,” ujar Erick.
Sekadar Rumah Sakit Tak Cukup
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan beberapa hal yang perlu dipersiapkan Indonesia jika benar-benar ingin menangkap pasar dari orang-orang yang selama ini senang berobat ke luar negeri. Sebab, keinginan itu tak cukup hanya dengan membangun satu RS berkelas internasional di Bali.
Contohnya Singapura yang sudah menjadi pusat RS berstandar internasional di Asia Tenggara. Citra Singapura, sambungnya, tak hanya terbangun dari satu atau dua RS internasional yang mereka miliki. Tapi, citra terbangun secara keseluruhan.
“Banyak orang kaya Indonesia yang memiliki aset di Singapura, jadi selain berobat sekaligus second home based. Bali memang destinasi wisata tapi tidak akan langsung orang berpindah ke Bali dibanding Singapura,” katanya.
Begitu juga dengan Penang di Malaysia. Menurutnya, layanan pengobatan di sana justru lebih murah daripada di dalam negeri, khususnya bagi masyarakat di Pulau Sumatera. Hal ini akan jadi pekerjaan rumah juga untuk Indonesia, apakah bisa mendirikan RS berkelas internasional dengan tarif yang cukup terjangkau bagi masyarakat.
“Saya rasa jangan pentingkan pembangunan di Bali untuk wisata ya, mita juga harus bisa dapatkan dokter-dokter bersertifikat terbaik skala internasional hingga tenaga kerja asing yang memungkinkan untuk ditempatkan di sana, itu yang paling penting” pungkasnya.
Tambahkan Komentar