Judul : Sang Penasihat
Penulis : HJ Friedericy
Penerbit : Ininnawa
Tahun : 2021
Halaman : xiv + 105
Kerajaan Bugis dan Makassar adalah dua dari segelintir kerajaan-kerajaan di Nusantara yang cukup lama baru bisa ditaklukkan oleh pihak kolonial Belanda. Perlawanan kerajaan dan masyarakatnya terbilang tangguh dan berani. Kebanggan pada identitas dan harga diri begitu besar dan erat digenggam oleh masyarakatnya. Namun, saat kerajaan Bugis dan Makassar ini runtuh dan tunduk di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada abad permulaan abad 20, kebanggaan tersebut perlahan memudar. “Sang Penasihat” adalah roman sejarah yang menceritakan hilangnya pamor kebanggaan tersebut.
“Sang Penasihat” adalah novel ringkas yang ditulis oleh Herman Jan (HJ) Friedericy, pegawai Belanda di Sulawesi Selatan sebagai Pangreh Praja. Sebetulnya novel ini punya kembarannya yaitu “Sang Jenderal”—kebetulan saya pernah membuat ulasannya di portal readtimes.id ini. Dua novel ini memang tak bisa disebut dwilogi, namun secara gagasan menyangkut periode runtuhnya kerajaan-kerajaan di tanah Bugis dan Makassar berikut dampak sosial-politiknya, sekaligus penaklukannya oleh pemerintah kolonial Belanda, maka mereka bisa disebut sebagai novel yang berpasangan dan saling melengkapi.
HJ Friedericy lahir pada 8 Juni 1900 dan mangkat pada 23 November 1962. Pada umur 21 tahun menyelesaikan studi Indologi di Universitas Leiden. Setelah lulus, ia berangkat ke Sulawesi Selatan bertugas sebagai pangreh praja. Dalam kata pengantarnya di buku ini, Dr. Mattulada menyatakan jika HJ Friedericy memiliki pemahaman mendalam terkait masyarakat Sulawesi Selatan, dalam hal ini masyarakat Sulawesi Selatan pasca penaklukan kerajaan Bone dan Gowa (1904-1908).
Saya kira, “Sang Penasihat” adalah bukti bagaimana HJ Friedericy pemahamannya tersebut memang dalam, tentu dalam pandangannya sebagai orang non-Indonesia.
Kisah dan alur novel sejarah ini sederhana: mengurai hubungan antara Tuan Petoro dan sang penasihatnya, Tuan Anwar—tokoh bangsawan daerah Sungguminasa Gowa yang cerdik dan dihormati. Hubungan antara keduanya berjalan harmonis: Tuan Petoro menjalankan posisinya sebagai atasan, dan Tuan Anwar senantiasa aktif memberikan saran kepada atasannya terkait masalah-masalah negeri—perampokan, pencurian hewan ternak, perselingkuhan, amok, dan sebagainya.
Sekalipun kisah dan alurnya sederhana, novel ini menawarkan sesuatu yang menarik untuk pembaca, khususnya yang memiliki perhatian pada sejarah Sulawesi Selatan. Yang ditawarkan novel ini kepada kita adalah: pertama, suasana abad 20 ketika kerajaan Gowa Makassar tunduk sepenuhnya di bawah kekuasan kolonial Belanda.
Kedua, bagaimana benih-benih nasionalisme dan pemberontakan pribumi berkarakter dan bersentimen nasional lamat-lamat merasuk ke wilayah Makassar. Di dalam novel ini diceritakan bagaimana tokoh-tokoh yang disebut berideologi komunis mencoba mengancam akan mengusir dan membunuh orang-orang Belanda.
Ketiga, ada sedikit kisah bernuansa pertentangan kaum tua dan kaum muda. Misalnya, percakapan sekilas Tuan Anwar dan anak lelakinya Bernama Musa—baca bab “Ayah dan Anak”—yang mempermasalahkan kedudukan ayahnya yang bekerja dengan pihak Belanda. Musa juga cenderung membela orang-orang yang dicela oleh ayahnya. Setiap tindakan yang merongrong kekuasaan Belanda dianggap buruk oleh Tuan Anwar—tapi oleh Musa dipuji dan dinilainya baik.
Novel ini mungkin terkesan datar, dalam arti tanpa konflik dan masalah ‘besar’ yang hendak diselesaikan. Namun demikian, ia menantang untuk dianalisa. Saya kira ini bakal menarik diulik oleh para pengkaji orientalisme. Karena, kenyataan bahwa penulis buku ini notabene orang Belanda. Berikutnya, bisa dianalisa perbedaan pandangan kaum pribumi dan orang Belanda yang tidak hitam putih.
Bagi saya pribadi, Tuan Petoro itu anak zaman pencerahan Eropa dan bisa dikategorikan berideologi liberal. Itu bisa dilihat dari nilai yang dianutnya dalam memerintah kaum pribumi yang nampak terkesan mengayomi. Sebagaimana kita tahu, di Eropa Abad 20 dipengaruhi oleh semangat renaissance yang membawa tuntutan sekaligus tuntunan pada konsep dan praktik humanisme, kebebasan, dan persaudaraan.
Tiga konsep inilah—humanisme, kebebasan, dan persaudaraan—yang melahirkan satu kelompok baru di Eropa: kaum liberal. Kaum liberal ini nantinya aktif mengkritik praktik kolonialisme yang cenderung tidak manusiawi, dan mulai menuntut dijalankannya model manajemen colonial yang meninggalkan metode kekerasan. Nah, nampaknya, Tuan Petoro ini termasuk ke dalam kelas liberal ini.
Sebagai novel yang mengurai suasana sosial politik Makassar abad 20, buku ini bakal memberikan informasi yang kaya soal itu.
2 Komentar