Readtimes.id– Tahu tempe merupakan makanan yang hampir selalu terhidang di meja makan orang Indonesia. Ironinya, bahan baku utama tahu tempe yakni kedelai, kini masih diimpor dalam jumlah besar dan kini harganya kian meroket.
Naiknya harga kacang kedelai impor di pasaran yang mencapai Rp12 ribu per kilogram membuat para produsen tahu tempe menjerit. Ongkos produksi yang melejit membuat omzet penjualan menurun drastis bahkan merugi.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Andreas Santosa, mengatakan pada dasarnya ketergantungan impor kedelai ini terjadi karena kebijakan pemerintah sendiri. Pada tahun 2000 tarif impor pangan diturunkan, akibatnya banjir kedelai impor masuk ke Indonesia dengan harga sangat murah.
“Tahun 1992-an kita sudah hampir swasembada kedelai, lahan ada 1,7 jt hektare. Sekarang ini hanya sekitar 400 ribu hektare saja, kenapa ya karena petani tidak mau nanam lagi karena banjir impor kan rugi,” jelas Andreas kepada Readtimes.id
Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga mengatakan bahwa importir Indonesia mendapat fasilitas dari eksportir Amerika untuk impor kedelai. Petani Indonesia dari sisi harga tidak mampu bersaing sehingga mereka berpindah ke tanaman lain.
Menurunnya jumlah produksi kedelai dalam negeri juga diiringi kualitas hasil panen, ditambah dengan banjir impor kedelai dengan kualitas lebih baik. Hal ini menyebabkan produsen tahu dan tempe lebih menyukai kedelai impor.
“Petani akhirnya tidak mau menanam karena hanya akan rugi, selain itu ada pesaing kedelai yaitu kacang hijau yang memiliki harga jual dua kali lipat dibanding kedelai dengan tingkat produktivitas yang sama,” jelas Andreas.
Menteri perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengakui saat ini 90 persen kebutuhan kedelai dalam negeri berasal dari impor. Sementara itu, pasokan kedelai impor terganggu karena pengaruh cuaca, badai La Nina di Amerika Selatan, dan tingginya permintaan di Tiongkok.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, Saat ini pemerintah harus memastikan ketersediaan kedelai di dalam negeri demi keberlangsungan produsen tahu dan tempe.
“Kami sempat berdiskusi dengan importir, mereka tidak berani untuk lock harga. Mereka takut barangnya tidak dibeli, sehingga lebih baik ketersediaan itu ada walaupun mahal. Jumlah produsen tahu tempe sekitar 150 ribu, jika kedelai tidak tersedia maka bahaya bagi keberlangsungan pengrajin tahu tempe,” ungkap Oke.
Selain itu, Oke mengatakan antar kementerian juga sedang membicarakan mitigasi lain yang bisa dilakukan untuk pengusaha tahu tempe. Karena jika harga naik, para pengrajin khawatir masyarakat akan mencari sumber protein lain yang harganya sedang turun seperti telur dan ikan.
Siasati Harga hingga Mogok Produksi
Para produsen tempe di Pulau Jawa mengaku harus menyiasati kenaikan harga kedelai impor dengan berbagai cara. Mereka mulai menaikkan harga hingga memperkecil ukuran tempe agar tidak merugi.
Bahkan Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta berencana mogok produksi dan berjualan mulai 21 hingga 23 Februari 2022.
Ketua Puskopti DKI Jakarta Sutaryo menjelaskan bahwa aksi itu sebagai bentuk protes mahalnya harga kedelai yang mencapai Rp11.300 per kilogram. Rencananya aksi mogok diikuti sekitar 4.500 produsen tempe dan tahu.
“Tuntutannya pertama stabilitas harga, kedua turunkan harga. Karena dengan harga tinggi, pembeli tempe dan tahu lemah (daya beli),” kata Sutaryo dikutip dari Antara (15/02).
Aksi mogok produksi itu, kata Sutaryo, sebagai pernyataan produsen tempe dan tahu di Jakarta yang akan menaikkan harga jual selepas 23 Februari 2022 untuk menutup ongkos produksi.
“Karena mungkin dengan menaikkan harga 20 persen, mungkin akan sedikit menaikkan keuntungan. Perkiraan tempe naik dari Rp5.000,00 ke Rp6.000,00 per papan. Tahu dari Rp35 ribu ke Rp40 ribu,” ujar Sutaryo.
Sutaryo mengatakan bahwa produsen tempe dan tahu berharap dalam jangka panjang, pemerintah dapat bertindak mencegah dampak kenaikan harga kedelai.
Tambahkan Komentar