Readtimes.id– Hasil survei terakhir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis 26 Desember nampak mengapresiasi kinerja Presiden dengan tingginya angka kepuasan publik yang mencapai 71,7 persen. Kendati demikian, nyatanya Jokowi masih mempunyai pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi perpolitikan dan hukum Tanah Air ke depan.
Hal ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah persentase publik yang menilai bahwa kondisi politik dan hukum di Tanah Air masih buruk. Desember tahun ini persentase penilaian buruk terhadap kondisi politik menjadi 22 persen dari semula 14,5 persen. Sementara itu untuk hukum dari yang semula hanya di angka 15,6 persen kini menjadi 26,6 persen.
Angka-angka yang sudah selaiknya menjadi “alarm’ darurat bagi pemerintahan Jokowi untuk segera menyelesaikan sejumlah persoalan yang membuat kepercayaan publik menjadi berkurang. Khususnya dalam bidang politik maupun hukum setahun belakangan.
Dalam kesempatan ini Readtimes.id menyoroti beberapa persoalan politik dan hukum sepanjang 2021 yang tidak hanya mendapatkan banyak atensi publik, melainkan perlu segera mendapatkan komitmen pemerintah untuk segera dilakukan perbaikan.
Penanganan Korupsi
Seperti diketahui sepanjang 2021 tidak sedikit keputusan penting yang dibuat pemerintah maupun penegak hukum terkait kasus korupsi di Tanah Air menuai atensi negatif publik. Sebagian bahkan dinilai menjadi bukti betapa rendahnya komitmen dalam rezim hari ini dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pertama adalah pemberian vonis yang ringan bagi pelaku korupsi yang menjalankan aksinya di tengah negara tengah bertarung dengan Covid-19. Kasus korupsi bansos yang dilakukan eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara adalah salah satu yang paling disesalkan publik karena hakim hanya menjatuhkan vonis 12 Tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider.
Juliari tidak sendiri, setelah itu ada Pinangki Sirna Malasari (jaksa Kejagung), Edhi Prabowo (eks Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Djoko Tjandra (pengusaha) yang juga mendapatkan vonis ringan.
Kedua adalah pemberian remisi bagi koruptor. Pada HUT RI tahun ini Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi bagi 214 napi korupsi, salah satunya diantaranya adalah Djoko Tjandra terpidana kasus cessie Bank Bali yang buron sebelas tahun. Selain mendapatkan remisi, sebelumnya hakim telah menghadiahkan Djoko Tjandra vonis ringan yakni 3,5 tahun penjara.
Mudahnya pemberian remisi bagi para koruptor belakangan bahkan semakin dipermudah ketika peraturan Justice Collaborator yakni bekerja sama dengan penegak hukum dalam membantu membongkar perkara tindak pidana sebagai syarat mendapatkan remisi bagi napi koruptor dicabut pada 28 Oktober 2021 oleh Mahkamah Agung.
Selanjutnya adalah pemecatan sejumlah pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan sebagai syarat menjadi ASN di KPK yang belakangan didiamkan Jokowi meskipun Ombudsman dan Komnas HAM menemukan adanya sebuah pelanggaran.
RUU Prolegnas Prioritas yang Tidak Prioritas
Ada beberapa rancangan undang-undang yang masuk Prolegnas 2021 namun tidak kunjung diselesaikan, meskipun timbul desakan dari publik untuk segera disahkan merespon sejumlah kasus yang bermunculan selama ini.
Dua undang-undang tersebut diantaranya adalah RUU tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS) dan RUU perlindungan data pribadi (RUU PDP).
Seperti yang diketahui kasus pelecehan maupun kekerasan seksual kerap terjadi setahun belakangan. Bahkan korbannya tidak hanya perempuan melainkan juga laki-laki, tidak hanya dewasa melainkan juga anak di bawah umur, juga terjadi dimana saja bahkan di pesantren.
Kasus pelecehan seksual di KPI Pusat yang dialami oleh pria berinisial MS, dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur, kasus pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya, kasus bunuh diri Novi Widyasari pada awal Desember, dan kasus pemerkosaan 12 santriwati oleh guru pesantren Herry Heryawan adalah beberapa kasus yang membuat publik mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU TPKS.
Begitu pula dengan kebocoran data pribadi. Kasus BPJS Kesehatan yang diretas Mei lalu, Kasus e-Hac Kemenkes, peretasan 10 jaringan internal kementerian termasuk milik Badan Intelijen Negara adalah sebagian dari total jumlah kasus yang juga mendesak agar kehadiran RUU PDP segera diwujudkan.
Namun, dengan sejumlah alasan kedua RUU tersebut tidak juga kunjung dirampungkan hingga Desember ini. Meskipun publik telah menanti. Seperti RUU TPKS yang tahun ini genap 9 tahun. Pemerintah dan DPR malah berfokus pada RUU yang tiba-tiba muncul seperti RUU Ibu Kota Negara (IKN) inisiatif pemerintah yang pembahasannya dikebut dan ditargetkan akan rampung awal 2022 nanti.
Patut diketahui ini juga bisa bukan kali pertama RUU Prolegnas prioritas tidak diprioritaskan. Revisi UU KPK pada 2019 juga demikian, tiba-tiba muncul hingga akhirnya disahkan. Begitu pula undang-undang Cipta Kerja yang kini dinyatakan “inkonstitusional bersyarat” oleh Mahkamah Konstitusi yang juga disahkan meskipun publik menentang.
Lebih dari itu, capaian kinerja legislasi DPR tahun ini juga masih rendah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini DPR hanya mampu hanya mengesahkan 8 rancangan undang-undang (RUU) dari 37 yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Adapun RUU yang disahkan menjadi undang-undang tersebut adalah revisi UU Kejaksaaan, revisi UU Jalan, revisi UU Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Derah, serta tiga RUU mengenai pembentukan pengadilan di beberapa daerah.
Kinerja Polri
Selain DPR, institusi yang juga banyak disorot tahun ini adalah Polri. Dengan sejumlah kasus yang melibatkan anggota kepolisian juga respon mereka dalam menanggapi laporan masyarakat yang dinilai lamban.
Belakangan tagar Percuma Lapor Polisi menjadi trending topik di dunia maya untuk mengekspresikan kekecewaan masyarakat terhadap institusi yang kini dinakhodai Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu.
Adapun beberapa kasus yang membuat publik menyoroti kinerja Polri di tahun ini di antaranya penghapusan mural mirip Jokowi di beberapa daerah, lambannya penanganan sejumlah kasus pelecehan seksual diantaranya yang dialami oleh MS pegawai KPI pusat, dugaan kasus kekerasan seksual yang menimpa 3 anak di bawah umur di Luwu Timur, insiden “terbantingnya” mahasiswa saat unjuk rasa Oktober lalu.
Selain itu, adanya dugaan oknum kepala Polsek yang melecehkan anak tersangka di Sulawesi Tengah, serta yang terbaru adalah adanya kasus seorang Ibu di Bekasi yang akhirnya menangkap sendiri pelaku pencabulan anaknya karena posisi enggan turun tangan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut kritikan publik melalui tagar tersebut harus menjadi bahan evaluasi secara mendalam dan serius. Karena dengan menerima kritikan tersebut, ke depan depan kepolisian bisa memperbaiki pelayanan dan pengayoman yang selama ini masih menjadi masalah bagi publik.
Demikian beberapa persoalan politik dan hukum yang sempat dipotret Readtimes.id sepanjang 2021. Di luar itu adalah sejumlah kasus HAM lama yang juga menuntut adanya komitmen negara untuk segera dituntaskan.
Selamat tahun baru, selamat menghidupkan asa, karena kita Indonesia.
Baca Juga : Bersatu Melawan Maut, Karena Kita Indonesia Bung!
Tambahkan Komentar