Readtimes.id– Badan Pangan Nasional (Bapanas) menugaskan Bulog mengimpor 2 juta ton beras pada tahun ini. Arahan tersebut merupakan hasil rapat internal bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (24/3) yang tertuang dalam salinan surat.
Dalam surat itu, Bulog diperintahkan mengimpor 2 juta ton beras pada tahun ini, dimana 500 ribu ton harus segera didatangkan secepatnya.
“Kami menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) dari luar negeri sebesar 2 juta ton sampai dengan akhir Desember 2023. Pengadaan 500 ribu ton pertama agar dilaksanakan secepatnya,” tulis salinan surat tersebut tertanda Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi.
Menanggapi surat tersebut, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut keputusan yang diambil pemerintah kurang tepat karena masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang tengah panen raya.
Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan, pengumuman impor beras dalam waktu dekat dinilai akan berpengaruh secara psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani.
Henry pun meragukan apakah benar produksi dalam negeri yang tidak cukup memenuhi kebutuhan nasional, atau terletak pada ketersediaan anggaran sampai mekanisme penyerapan gabah atau beras di tingkat petani.
“Jika memang terjadi penurunan produksi akibat bencana banjir maupun hama dan sebagainya, ini harus jelas. Artinya terjadi ketidaksesuaian antara prognosis pemerintah (dalam hal ini BPS) dengan fakta di lapangan,” kata Henry dalam keterangan resmi, Selasa (28/3).
Lebih lanjut, SPI menilai impor beras terjadi karena lambatnya pemerintah merevisi Harga Pokok Penjualan (HPP) di tingkat petani, mengakibatkan penyerapan beras tidak maksimal, begitu pun Bulog yang tidak menguasai CBP tahun lalu hingga masalah tersebut berlanjut sampai sekarang.
“Padahal kalau hal ini dilakukan secara terukur dan jauh-jauh hari, tentu petani akan mempertimbangkan untuk menjual gabahnya kepada Bulog,” kata Henry.
Menurut Henry, pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan terus melakukan impor untuk menutupi permasalahan pangan di Indonesia.
Hal ini bisa dilihat dari belum maksimalnya pemerintah menjalankan reforma agraria yakni harga pupuk maupun sarana produksi lain yang belum stabil, redistribusi tanah kepada petani belum optimal, serta tidak adanya jaminan harga layak terhadap produksi beras petani
“Jika demikian, maka hal ini pada prinsipnya semakin menjauhkan pemerintah pada prinsip kedaulatan pangan,” kata Henry.
Tambahkan Komentar