Readtimes.id– “Catcalling”, “begal”, “pistol”, “badik”, “kata-kata kotor”, “porno”, trauma”, “meremas payudara”, “pegang paha”, “busur”, “kelamin”, adalah segelintir kata dan frasa yang terpampang di latar panggung dari sorotan proyektor, dengan ukuran besar dan kecil. Kata-kata itu sebagian menimpa 33 panci yang tergantung di panggung, kadang pula tertayang pada tubuh lima pemain dengan wajah yang mengenakan panci.
Seiring kata-kata di atas tertayang, ditingkahi aneka gerakan dari lima pemain, terdengar pula suara-suara rekaman dari pelantang: suara-suara perempuan Makassar yang hidup di kota dengan berbagai masalahnya. Sayup musik latar yang kadang muncul sesekali menghadirkan nuansa tegang dan dramatis, sesekali liar sekaligus mengharukan.
Begitulah nuansa yang hadir selama kurang lebih satu jam dalam pementasan teater, “Suara-suara Gelap (dari Ruang Dapur)” pada Senin, 24 Juli 2022. Pementasan yang naskahnya ditulis sekaligus disutradarai oleh Shinta Febriany ini berlangsung di Gedung tertutup Taman Budaya Nusa Tenggara Barat di Kota Mataram.
Pementasan itu dipersembahkan oleh Kala Teater, kelompok teater yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Ratusan penonton menyesaki kursi-kursi merah di dalam ruangan.
“Suara-suara Gelap (dari Ruang Dapur)” ini merupakan hasil riset menyangkut isu Kota di Kota Makassar. “Wawancara, rekaman audio, kuesioner, grafik, berita koran, video, pernyataan resmi pemerintah dan lain-lain, adalah sumber penciptaan karya ini,” jelas seorang pelaksana sebelum pementasan berlangsung.
Sebetulnya, suara-suara yang menggema di ruangan tertutup Taman Budaya NTB malam itu adalah milik kaum perempuan yang tinggal di Kota Makassar, menghadapi berbagai macam masalah, nyaris tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah atas keadaan, dan gamang hendak menyandarkan harapan kepada apa ataupun siapa.
Itu terbukti setelah sepuluh menit pertunjukan berlangsung, satu demi satu pemain mulai bersuara dari dalam panci yang menutupi seluruh wajah mereka.
“Perkenalkan nama saya Ariana, usia 22 tahun. Saya mahasiswa, dan pernah dicabuli.” “Perkenalkan, nama saya Riska, umur 22 tahun, lulus kuliah. Kamar kos saya pernah dibobol maling, lalu barang-barang saya diambil maling, laptop, hp, dan lain-lain, semua diambil.”
“Saya Putri Ayudianingsih Ayuputri, umur 22 tahun. Saya pernah berkendara lalu dilempari petasan, saya hampir jatuh.”
Lalu berturut-turut ada Lisdawati, pelajar perempuan yang sering mendapatkan perlakukan yang disebut catcalling. Ada Dani, 25 tahun, ibu rumah tangga yang pada 2021 mendapatkan kekerasan dari suaminya, diseret ke pinggir jalan, padahal saat itu dia tengah hamil tujuh bulan.
Ada juga Selena, 21 tahun, mahasiswa semester 6, yang mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari ustadznya semasa mengenyam pendidikan di pondok pesantren sebelumnya. Dan masih banyak lagi.
“Kadang saya berpikir hidup di kota membuat kita terasing satu sama lain ya,” ucap seorang pemain dalam satu adegan, yang ditiru oleh pemain lainnya.
Kalimat ini seolah berupaya merangkum masalah-masalah dari kisah-kisah di atas yang mencerminkan bagaimana manusia di kota melihat manusia lain sebagai mangsa. Dan dalam hal ini perempuan yang kerap kali menjadi target.
Ya, seiring pementasan berlangsung, kita akan menyimpulkan bahwa “Suara-suara Gelap (dari Ruang Dapur)” adalah suara-suara perempuan, satu entitas warga kota yang paling sering menjadi korban.
Di dalam pementasan ini, melalui kata-kata yang berjatuhan di atas layar, suara-suara rekaman hasil wawancara, dan gerakan-gerakan liar para pemain yang sesekali memukul-mukul panci yang menutupi wajah mereka, nasib perempuan di Kota Makassar ditampilkan—nasib yang naas, dibungkam, dan tertindas.
Mereka seolah-olah tak punya kuasa pada nasib dan tubuh sendiri. “Apa itu tubuh? Ketenangan? Kepedihan? Bolehkah kuberikan ke hutan belantara?” ucap seorang pemain, seakan menggambarkan keputusasaan perempuan atas nasib sendiri, sehingga merasa tubuh yang mereka miliki adalah kutukan, dan bila perlu dilepaskan saja
atau diberikan “…hutan belantara.”
Namun demikian, pementasan ini juga menghadirkan satu pemberontakan dan optimisme bahwa perempuan harus bertindak.
“Siapakah yang membawa kemiskinan ini datang kepadaku, menjulurkannya ke tubuhku, membuat jejak hitam di sana? Aku ingin menghapusnya. Maukah kau menolongku?” Kata seorang pemain, mengucapkan kalimat pengharapan.
“Patriarki di sana. Patriarki di sini. Patriarki di aku. Patriarki di mana-mana,” sahut-sahutan kalimat ini diucapkan oleh para pemain. Ya, rupanya perempuan yang bersuara dalam pementasan ini telah mendeteksi akar persoalan ketertindasan mereka: patriarki.
Dan pada jelang ujung pementasan, kita akan mendengar seorang pemain meneriakkan kata-kata tegas, “Kau bisa merayu ribuan waktu, tapi aku tak mudah ditaklukkan.” Sebuah testimoni sekaligus tantangan.
Ketika lampu panggung dimatikan dan gelap seketika, tepukan tangan penonton menandai pertunjukan pementasan berakhir. “Suara-suara Gelap (dari Ruang Dapur)” usai dalam waktu kurang lebih satu jam.
Pementasan ini secara tema memiliki irisan dengan apa yang terjadi di pulau Lombok. Di pulau ini perempuan-perempuan masih menjadi objek yang dibincangkan jika dikaitkan dengan isu besar di Pulau Lombok secara khusus yakni pernikahan usia anak, TKW, pelecehan seksual, dan sebagainya.
Kala Teater memang telah sukses mementaskan karyanya. Semoga saja suara-suara perempuan yang digemakan sepanjang pertunjukan akan terus meneror penonton sampai mereka kembali ke rumah. Agar kita terus diingatkan, masalah kekerasan dan penindasan pada perempuan masih saja terjadi.
Selamat kepada sutradara, para pemain, dan seluruh kru yang menyukseskan pementasan “Suara-suara Gelap (dari Ruang Dapur)” ini. Ditunggu pementasan berikutnya di Pulau Lombok.
Tambahkan Komentar