
readtimes.id– Pemberian anugerah gelar pahlawan nasional kepada tokoh Usmar Ismail oleh Presiden Jokowi, Rabu (10/11), memberikan angin segar bagi semua kalangan. Bagaimana tidak,
kini gelar pahlawan nasional tidak hanya dilekatkan bagi mereka yang dulu angkat senjata melawan kolonial atau harus dari kalangan militer, melainkan juga kaum profesional.
Seperti yang diketahui semasa hidupnya Usmar Ismail dikenal sebagai seorang sutradara. Darah dan Doa, Harta Karun, Pedjuang (1960), Enam Djam di Djogja (1956), Tiga Dara (1956), Asrama Dara (1958), Tjitra (1949), adalah sederet karyanya yang mendapatkan apresiasi dari para kritikus film.
“Tjitra” misalnya, adalah salah satu karya Usmar yang diapresiasi oleh kritikus, H.B. Jassin yang mengatakan bahwa karya Usmar yang satu ini, berhasil membiaskan corak dan tokoh jiwa romantik dan pemuda yang penuh idealisme dalam masa storm and drang meskipun bertendensi propaganda.
Dalam kiprahnya sebagai seorang sineas, Usmar Ismail juga disebut sebagai sosok yang berhasil membangkitkan wajah perfilman Tanah Air, melalui Festival Film Indonesia dan Festival Film Asia yang kemudian berkembang menjadi Festival Film Asia-Pasifik.
Hal ini yang membuat beberapa pihak sepakat bahwa semestinya Usmar Ismail diangkat sebagai seorang pahlawan nasional.
Adalah Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat, Wina Armada, dalam forum “Sinergi Hari Film Nasional” yang mengungkap berbagai alasan mengapa pria yang disebut sebagai Bapak Film Indonesia pantas dianugerahi gelar pahlawan nasional seperti yang dilansir dari laman Antara.
“Dia adalah perintis untuk semua hal di perfilman Indonesia, pertama dia lah yang meletakkan sinema Indonesia pertama, dibuat oleh orang Indonesia, kru orang Indonesia, semuanya lah, itulah film Indonesia pertama (“Darah dan Doa”) dan ceritanya menarik,” ujar Wina.
Wina mengatakan selama ini belum ada pahlawan nasional yang berasal dari bidang kebudayaan, sebab rata-rata berasal dari dunia militer. Selain itu Usmar Ismail sendiri juga memiliki latar belakang yang menarik, dia merupakan seorang tentara dan juga wartawan, bahkan pernah dianggap sebagai mata-mata oleh Belanda saat meliput peristiwa Perjanjian Linggarjati.
Kedua adalah dia peletak sinema Indonesia di mata internasional, dia meletakkan sinema film Indonesia di kancah film internasional. Dia pejuang yang kemudian dilanjutkan oleh sineas-sineas lain,” ujar Anggota Dewan Pers itu.
Menurut Wina, karya yang dihasilkan oleh Usmar Ismail merupakan film-film bermutu tapi juga disukai oleh masyarakat. Pada zaman itu, karya Usmar mampu mengalahkan Amerika bahkan mampu membuat cemas negara Adidaya itu.
“Masih banyak lagi jasa-jasa beliau termasuk yang mengangkat budaya dalam film-filmnya seperti ‘Harimau Campak’, itu ada kebudayaan Minang dan hampir semua film-filmnya bagus,” kata Wina.
Kini harapan Wina dan para penggemar karya Usmar Ismail terjawab sudah. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 109 dan 110 TK Tahun 2021 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa, Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Usmar Ismail bersama tiga tokoh lainnya yakni Tombolotutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, dan Raden Aria Wangsakara dari Banten.
Baca Juga : Saatnya Perang Gerilya Melawan Covid
Tambahkan Komentar