Readtimes.id– “Gugatan Yusril Ihza Mahendra mendampingi kubu Moeldoko ini perlu dipandang lebih dari sekadar gugatan seorang kader partai yang kecewa terhadap peraturan partai, melainkan sipil yang kemudian berusaha menuntut adanya akuntabilitas dalam kepengurusan partai politik,” terang Wawan Mas’udi, pakar politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada pada readtimes.id.
Hal ini tidak lain merespon babak baru konflik partai Demokrat hasil Konferensi Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang dibawah kepemimpinan Moeldoko yang kini tengah menggugat partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Menarik perhatian karena dalam perjalanannya, kubu Moeldoko juga menggandeng advokat kondang Tanah Air, Yusril Ihza Mahendra, yang tidak lain juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Adapun gugatan dari kubu Moeldoko kali ini menjadi polemik akademis karena mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga partai Demokrat. Hal yang tidak lazim terjadi untuk sebuah peraturan yang bukan produk perundang-undangan yang bisa ditangani MA, melainkan aturan partai yang biasanya ditinjau dan dimusyawarahkan pada kongres partai politik.
Nampak “unprecedented ” terang Wawan Mas’udi, namun menurutnya menjadi sesuatu yang sah-sah saja dilakukan oleh warga negara mengingat Indonesia tidak mempunyai lembaga khusus yang independen mengawasi partai politik atau sebuah aturan yang bisa dijadikan pijakan untuk mengambil keputusan ketika AD/ ART parpol nyatanya bertentangan dengan undang-undang.
“Kemenkumham memang sebuah lembaga yang kemudian mengesahkan AD/ART partai namun perlu dipahami mereka bukan berfokus pada substansi melainkan prosedural. Jadi yang dipegang adalah kebenaran formal,” tambahnya.
Lebih jauh tentang langkah Yusril yang membantu kubu Moeldoko terkait judicial review, adalah sebuah celah baru untuk kemudian dapat dijadikan momentum untuk mengoreksi jalannya partai politik yang selama ini mengacu pada undang-undang partai politik yang sejatinya juga masih kurang tegas dalam mengatur partai politik.
Undang-Undang Nomor 2 terkait partai politik yang terakhir diperbaharui pada 2011 lalu pada beberapa pasal masih cenderung mengembalikan segala persoalan ke partai politik. Seperti pemberhentian keanggotaan partai yang disesuaikan dengan AD/ ART parpol yang berlaku.
Juga pola rekrutmen kader yang biasa dilakukan secara instan menjelang pemilu untuk maju dalam bursa pemilihan atau bahkan menjadi ketua parpol, tanpa adanya prosedur pengabdian atau melewati jenjang kepengurusan terlebih dahulu, setidaknya satu tahun kepengurusan.
“Ini penting untuk diawasi mengingat anggaran partai politik itu diambil dari APBN, yang notabene adalah dana dari publik, sehingga sah-sah saja ketika publik akan menuntut pertanggungjawaban dari partai politik,” terang Wawan.
Kendati demikian, menurutnya untuk sampai pada revisi UU Partai Politik sejatinya membutuhkan desakan yang kuat dari publik. Apalagi mengingat DPR yang sejatinya bertugas menggarap undang-undang selama ini tidak lain merupakan anggota partai politik yang cenderung akan membuat peraturan yang menguntungkan posisi partai atau mempertahankan status quo yang ada .
Pertanyaannya kemudian, mampukah seorang Yusril Ihza Mahendra menjadi pembuka jalan?
1 Komentar