RT - readtimes.id

Wacana Kotak Kosong di Pilgub Sulsel, Pengamat: Bentuk Disfungsi Partai Politik

Readtimes.id– Wacana kotak kosong menguat di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan usai hampir seluruh partai merapat ke pasangan bakal calon Andi Sudirman Sulaiman (ASS) dan Fatmawati Rusdi.

Setelah diusung oleh Nasdem (17 kursi) dan Demokrat ( 7 kursi) pasangan ini dikabarkan juga akan mendapatkan dukungan dari Partai Gerindra (13 kursi ) dan Partai Amanat Nasional (4 kursi).
Dengan demikian pasangan ini hampir mengantongi 41 kursi dari total 85 kursi.

Adapun yang tersisa yakni Partai Golkar (14 kursi), PKB (8 kursi), PKS (7 kursi) dan Hanura (1 kursi) yang juga tidak menutup kemungkinan akan merapat.

Menanggapi hal itu pengamat politik Universitas Hasanuddin, Endang Sari, menilai bahwa situasi tersebut menunjukkan terjadinya disfungsi parpol.

“Kita tahu bersama bahwa sejatinya partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik/kaderisasi politik, agregasi kepentingan, dan pengatur konflik. Perkembangan politik di Sulsel menunjukkan betapa fungsi utama partai yaitu kaderisasi politik tidak berfungsi,” ucap Endang.

Dalam menjalankan fungsi kaderisasi politik, menurut Endang partai seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan kader-kader pemimpin yang siap mengisi posisi di jabatan publik.

“Bukan sekadar sebagai perahu kekuasaan saja,maka ketika dalam seleksi kepemimpinan publik yang hanya digelar 5 tahun sekali seperti pilkada lantas partai tidak mengajukan kadernya sendiri menjadi calon, tentu ini menunjukkan bahwa terjadi disfungsi partai di situ, “ tambah Endang.

Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini juga mengungkapkan jika kelak hanya ada satu paslon di Pilgub Sulsel dan harus berhadapan dengan kotak kosong, maka situasi tersebut akan sulit diterima oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini karena masyarakat Sulawesi Selatan memiliki karakter yang terbuka dan rasional.

“Masyarakat di Sulsel adalah masyarakat yang secara kultural berpikiran terbuka dan rasional sehingga tidak menyukai proses politik yang dipaksakan, “ terang Endang.

Mantan Komisioner KPU Kota Makassar ini juga menyinggung fenomena kotak kosong yang pernah terjadi di Pilkada Makassar 2018 silam. Menurutnya itu adalah bentuk protes publik yang tidak menyukai proses politik yang dipaksakan.

“Kemenangan kotak kosong di Pilkada Makassar pada tahun 2018 menunjukkan bahwa ada indikasi upaya dari pemilih saat itu untuk menunjukkan protesnya kepada sistem politik yang terkesan coba didominasi dan dimonopoli oleh kekuatan politik tertentu, “ beber Endang.

Endang juga memperingatkan, jika ada indikasi dan upaya yang mencoba memonopoli dan mendominasi proses politik, hal itu bisa memicu sentimen publik dan melihat itu sebagai musuh bersama.

“Sementara untuk mereka yang terindikasi mencoba monopoli dan mendominasi proses politik akan dipandang sebagai musuh bersama seperti yang kita lihat di Pilkada Makassar lalu,“ tambah Endang

Kata Endang, pandangan tentang musuh bersama itu yang pada akhirnya akan membentuk konsolidasi publik dan para elit yang merasa dicurangi menjadi sebuah pilihan politik.

“Pertemuan antara sentimen masyarakat pada proses politik yang tidak fair, ditambah kepentingan para elit lain yang merasa dicurangi pada proses politik itu yang pada akhirnya akan memilih kotak kosong. Di lapangan memang mereka mungkin tidak terkonsolidasi menjadi tim, tapi mereka terkonsolidasi secara pilihan politik, “ beber Endang.

Endang menilai meskipun protes masyarakat tidak dapat mempengaruhi sikap elit secara langsung tapi mereka bisa mempengaruhi jumlah suara.

“Protes masyarakat itu sangat berbahaya karena itu mempengaruhi suara. Mereka juga bisa menciptakan elitnya sendiri, “ ucap Endang.

Editor: Ramdha Mawadda

Jabal Rachmat Hidayatullah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: