RT - readtimes.id

“Wanita Rembulan”, Kisah Kelam Perbudakan Hingga Pemberontakan Perempuan Oman

Judul : Wanita Rembulan
Penulis : Jokha Alharthi
Penerbit : moooi
Tahun : 2024
Tebal : 248 halaman

“Menurut undang-undang, kita adalah orang-orang merdeka. Kita sudah bebas, Zarifa. Buka matamu, dunia sudah berubah, tapi kau masih saja mengulang-ulang, “Tuanku, Tuan Mudaku, Yang Mulia…’ Kita adalah orang-orang merdeka. Setiap orang adalah tuan untuk dirinya sendiri, bukan orang lain.” (“Wanita Rembulan”, halaman 102)

Pada novel “Wanita Rembulan”, satu titik di tengah lanskap dunia Arab yakni tanah Oman menyajikan kisah panjang perbudakan dan munculnya sikap memberontak kaum perempuannya. Novel yang ditulis oleh Jokha Alharthi dan diganjar penghargaan International Booker Prize 2019 serta telah diterjemahkan ke dalam lebih 20 bahasa ini membawa kita pada masa transisi di mana Oman beralih menjadi modern.

Dalam “Wanita Rembulan”, persoalan perbudakan bukanlah fenomena hitam putih yang semua orang mengutuknya dan lantas dengan lancar keluar darinya. Dia menimbulkan kekacauan komunikasi antara (mantan) majikan dan (mantan) budaknya. Secara psikologis tokoh novel yang pernah memiliki budak masih enggan menerima keputusan negara menghapus perbudakan dan tetap ingin berkuasa. Si budak pun terkadang secara tak sadar masih terpaut dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh majikannya.

“Wanita Rembulan” juga menawarkan kita model penceritaan yang unik sekaligus menantang. Setiap bab diberi judul dengan masing-masing tokoh yang ada di dalamnya, “Mayya”, “Abdullah”, “Asma”, “Khawla”, “Salimah”, dan seterusnya. Dengan begitu kita akan tahu bab itu sedang berbicara tentang siapa. Namun, menariknya, hanya satu tokoh yakni Abdullah yang diberikan ruang untuk berbicara dengan suara atau sudut pandangnya sendiri, sudut pandang orang pertama. Sisanya menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Alur dan plotnya pun tidak seperti novel-novel lain yang barangkali konvensional dalam menghadirkan konflik cerita. “Wanita Rembulan” menebar setiap konflik ke segenap tubuh bab yang ada. Alur atau plotnya pun terkesan maju mundur, kadang kita dibawa ke masa perbudakan di tanah Arab, lalu tiba-tiba masuk ke dalam alam batin modern tokoh perempuannya, kemudian dilempar lagi ke masa transisi Oman secara struktural menghapus perbudakan dan ragam respons masyarakat atasnya.

“Wanita Rembulan” berlatar Kota Awafi dan Muskat, berfokus pada kisah keluarga tiga generasi perempuan: Mayya, Khawla, dan Asma. Mereka sejatinya tiga saudara sekandung yang memiliki cara pandang masing-masing, khususnya dalam hal pernikahan. Mayya pada akhirnya menikah dengan Abdullah (padahal dia jatuh hati pada laki-laki lain), anak saudagar Sulaiman yang pada masa lalunya bergantung pada perdagangan budak. Khawla yang teguh menolak semua lamaran laki-laki karena merasa terikat dengan tunangannya yang pergi ke Kanada. Dan Asma sendiri menerima pernikahan karena merasa itu sudah menjadi kodratnya perempuan.

Lalu dari sana cerita kemudian bergulir dari satu sudut pandang tokohnya ke sudut pandang tokoh lainnya. Kita pembaca harus berusaha keras menarik benang merah dari sekian hamparan cerita dari masing-masing perspektif tokohnya. Namun demikian, bisa disarikan bahwa dari kelindan kisah yang bertebaran itu kita akan mendapatkan fakta bahwa pengaruh modernitas cukup besar terhadap cara berpikir perempuan dan hubungan sosial antar kelas.

Dari awal novel kita sudah diperkenalkan pada pemikiran Mayya yang berani membangun mimpi kehidupan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mayya yang sehari-harinya sibuk di depan mesin jahitnya (fitur modernitas yang pertama-tama muncul di dalam novel), harus pasrah dan patah hati menerima keputusan keluarganya untuk menikahkan dia dengan Abdullah. Barangkali untuk melawan dominasi lainnya dari sistem sosial yang ada, dia berani mengambil Keputusan menamakan anak pertamanya perempuan dengan nama London. Ini dipandang melanggar norma sosial, serta aneh karena nama yang diberikan adalah nama kota orang-orang Kristen. London sendiri diberikannya untuk mengenang laki-laki kepada siapa Mayya jatuh hati yang menempuh pendidikannya di London.

Karakter pemikiran Khawla dan Asma pun menarik pula untuk diikuti. Salah satu dari mereka merupakan pecinta dunia buku, dan menginginkan laki-laki yang menikahi mereka akan membawa mereka pergi dari lingkungan mereka dan mereka pun bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada nuansa perbedaan yang cukup tajam antara generasi tiga perempuan bersaudara ini dengan perempuan-perempuan pendahulu mereka.

Di dalam novel ini pun dunia laki-laki juga berubah, perspektif mereka juga sedikit banyak menerima perubahan cara pandang kaum perempuannya. Contoh paling jelas adalah Abdullah, suami Mayya, yang tidak menaruh keberatan anak perempuan pertamanya diberikan nama London. London sendiri nantinya akan menjadi dokter, gagal dalam pernikahan pertamanya dengan Ahmad—laki-laki yang mengaku penyair namun tukang selingkuh dan sering memanfaatkan dia.

Laki-laki lainnya yang menikah dengan tokoh-tokoh perempuan yang ada, juga kecenderungannya berupaya membangun mimpi-mimpinya sendiri, lepas dari tradisi di lingkungannya, dan mendirikan fondasi hidup mereka sendiri. Modernisme yang lahir pasca dihapuskannya perbudakan pada 1926 di Oman benar-benar membawa perubahan dalam cara pandang tokoh-tokoh di dalam cerita “Novel Rembulan” ini.

“Wanita Rembulan” ini barangkali akan menyenangkan hati mereka yang ingin membaca karya-karya sastra Arab. Mungkin semua orang setuju, karya sastra dari tanah Arab sangat sedikit yang tiba pada kita. Dan menariknya, novel yang ditulis sastrawan perempuan ini sekaligus menjadi karya sastra Arab pertama yang mendapatkan penghargaan yang telah disebutkan di awal, International Booker Prize 2019. Novel ini disebut-sebut menjadi tonggak penting dalam kesusastraan Oman modern.

Dedy Ahmad Hermansyah

35 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: