RT - readtimes.id

Tantangan Beragama di Tengah Perkembangan Sains dan Teknologi

Judul : Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?
Penulis : Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : buku mojok
Tahun : Juli, 2021
Tebal : viii + 186 halaman

Dunia saat ini seperti kian tersambung saja. Sekat-sekat satu demi satu runtuh, batas-batas kian hari kian hilang dan tertembus arus kemajuan. Manusia dari satu ujung dunia dapat bertatap muka secara fisik dengan manusia di ujung dunia lainnya hanya dengan membangun janji bertemu beberapa jam sebelumnya. Gagasan dari puspa ragam keyakinan dapat bertubrukan dan chaos di ruang maya gawai kita.

Perkembangan ini nyaris mustahil untuk dibendung atau diingkari. Pola pikir lama jelas ditantang untuk menata diri di hadapan kemajuan ini. Tak terkecuali cara kita beragama. Pertemuan yang intens antar gagasan pelbagai agama dapat berakibat konflik dan saling tidak memahami. Lalu bagaimana sebaiknya kita beragam di tengah kemajuan berbagai aspek penting dalam kehidupan kita ini?

“Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” adalah kumpulan esai yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Esai-esai yang ditulis Ulil Abshar Abdalla, tokoh pemikir dari NU, ini melandaskan pemikirannya pada Al-Ghazali, filsuf dan teolog muslim asal Persia. Ulil mengulik persoalan akidah dari cara pandang Al-Ghazali dan menjadikannya pisau analisa untuk membedah persoalan hari ini. Sangat menarik!

Ada 30 esai yang relatif pendek-pendek—rata-rata lima halaman saja. Keseluruhan esai dibuat pada 2020, tahun di mana seluruh dunia dilanda pandemi Covid-19. Dan benar, secara substansi tulisan-tulisan yang ada secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan refleksi terhadap kondisi keterpurukan manusia dalam masa pandemi.

Menariknya, penyusunan esai di dalamnya dibuat secara kronologis, dari tanggal 24 April hingga 23 Mei. Jadi kesannya esai-esai yang ditulis Ulil nampak menyerupai diari atau semacam gerakan di media sosial seperti #Menulis30Hari dan sejenisnya. Diakui sendiri oleh penulis sendiri di dalam esai pertamanya, “Wisata Akidah Bersama Al-Ghazali: Kenapa Aqidah Penting?”, bahwa tulisan-tulisan di dalam buku ini adalah ‘tulisan serial’ yang ditulis di sela-sela swa-isolasi di rumahnya.

Namun demikian, apa yang ditulis Ulil bukanlah sekadar upaya menggugurkan kewajiban agar tetap menulis tiap hari; esai-esai buatan Ulil tetap berusaha menyentuh kedalaman, namun dengan tetap mengendalikan narasinya agar mudah diikuti dan dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun.

Teologi atau akidah dalam tradisi Islam, adalah salah satu kata kunci yang diulik dalam buku ini. Bagaimana hubungan kita dengan Tuhan dibongkar kembali oleh Ulil. Definisi-definisi diuraikan dan dianalisa kembali. Misalnya, dalam esai “Cara Pandang Keagamaan yang Unitive”, Ulil membongkar kembali pemahaman akidah kita terkait perbedaan kepercayaan, sekaligus menawarkan satu konsep bernama kesadaran unitive. Intinya, dalam esai ini, disebutkan bahwa aspek tanzih (menjauhkan Tuhan dari segala kemungkinan kemiripan dengan manusia) terlalu dilebih-lebihkan. Padahal, kata Ulil “kemiripan” Tuhan dan manusia itu tak terhindarkan, karena dalam diri manusia ada unsur-unsur ilahiah yang sangat kuat.

Nah, konsep kesadaran unitive ini akan sangat berguna bagi laku beragama di masa kemajuan saat ini. Jadi kita tetap bisa berpegang teguh pada akidah kita sendiri tapi tetap dengan keyakinan bahwa segala hal di alam raya ini merupakan wujud yang satu, walaupun bentuk dan manifestasinya beragam.
Sains, adalah kata kunci berikutnya yang dieksplor oleh Ulil. Sains dalam pengertian kemajuan dalam aspek teknologi dipandang oleh Ulil sebagai tantangan merumuskan kembali cara kita beragama. Dalam esai “Jangan Pertentangkan Agama dan Sains” Ulil menekankan bahwa iman bukan lawan dari pengetahuan. Dia mengutip pernyataan Ibn-Rusyd, pemikir muslim yang terkenal di Eropa sebagai Averroes, bahwa antara syari’ah dan “hikmah” terdapat hubungan yang erat, ittishal.

“Kita Tak Bisa Lagi Beragama Secara Solipsistik” menawarkan kita alternatif lain lagi dalam menghadapi kemajuan dan perbedaan-perbedaan keyakinan yang ada. poin argumen Ulil adalah kita tak bisa lagi bersikap “solipsistik”, (solipsisme: pandangan bahwa yang ada hanya diri sendiri; yang lain non-existent) dalam beragama, sehingga mengabaikan kehadiran “yang lain” (al-akhar) yang berbeda.

Namun, buru-buru ditekankan oleh Ulil, bahwa pemahaman untuk merangkul orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita tidak lantas menggadaikan akidah kita sendiri, kompromi atas hal-hal prinsipil yang kita punya. Titik temu harus dicari. Dialog dan perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda dengan kita dibutuhkan. Kata Ulil, inilah tuntutan zaman yang tak bis akita abaikan.

“Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” memang mengulik hal-hal yang menyentuh permukaan, namun tetap berawal dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bahkan cenderung nakal. Misalnya, pertanyaan di dalam judul esai itu sendiri: Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita? Jika Tuhan berkuasa, mengapa dia harus hadirkan Covid-19 dan berhentikan pandemi agar manusia bahagia?

Untuk menjawab pertanyaan yang menurut Ulil sangat manusiawi dan sudah ditanyakan sejak zaman Islam klasik itu, dia mengajak kita membongkar kembali pemahaman kita tentang konsep Tuhan Yang Hidup (hayyun) dan karena itu Berkuasa (Qodirun) secara mutlak. Lalu memperkenalkan kita konsep teodisi yakni konsep tradisi pemikiran ketuhanan dalam Islam. Dan terakhir ia mengulas kembali isi buku terkenal Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din.

Dalam konteks Covid-19 di mana manusia menderita, ribuan buruh menderita secara ekonomi, puluhan ribu nyawa hilang, Ulil mengajak kita melihat sesuatu yang bernama hikmah: munculnya komunikasi baru secara online dalam bentuk platform bernama Zoom, perguruan tinggi dipaksa untuk mampu bereksperimen dengan metode pengajaran yang baru, orang-orang baik yang menghibahkan tenaga dan hartanya, dan sebagainya.

Dedy Ahmad Hermansyah

46 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: