Penulis : Rahmad. M. Arsyad
‘Fungsi masjid bisa kita jalankan lewat ibadah di rumah, sementara fungsi pasar tidak bisa kita jalankan di rumah. Beribadah adalah kebutuhan ruhani, namun ketika berada dalam situasi darurat jangankan sesuatu yang sunah yang wajib sekalipun, seperti ibadah haji bagi yang mampu, jika mengancam keselamatan diri bisa ditiadakan’- Das’ad Latif
Biasanya setelah sholat Isya, ibu mertua saya akan meminta cucu satu-satunya, ya tentu saja anak saya untuk memutar Youtube. “Ali, putarkan nenek Ustadz Das Latif’ (Das’ad Latif) begitu selalu instruksi rutin yang diterima oleh anak saya. Layaknya mendengar siaran radio Saur Sepuh di masa lalu, Ibu mertua saya akan tertidur bersama ceramah senior saya di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin itu.
Saya cukup mengenal Ustadz Das’ad atau dalam ikatan korps sering kami sapa, Kak Das’ad. Selain sebagai senior beliau juga kini adalah dosen yang mengajar di kampus kami. Berpeci dan selalu identik dengan sarung serta memakai gamis putih, Das’ad memang pribadi yang saya dan banyak orang kenal sebagai sosok humoris sejak dahulu.
Akibat selera humor dan gaya dakwah yang disampaikan dengan cair, sejak lama di kampung-kampung Sulawesi Selatan, Das’ad Latif punya banyak penggemar. Berbagai ceramahnya sejak dahulu memang ringan dan mudah dicerna oleh para jamaah, karena disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan analogi yang membuat seluruh lapisan masyarakat langsung dapat mengerti pesan dakwah yang dibawa.
Tidak heran, jika kini popularitas Das’ad meluas. Hampir seluruh daerah di Indonesia ada saja jamaah yang menyenangi ceramah Ustadz yang tahun ini berusia 48 tahun tersebut. Bahkan sering pula dari media sosial seperti instagram dan Youtube, saya menonton berbagai ceramah Das’ad dari luar negeri.
Ustadz kelahiran 21 Desember 1973 juga sangat populer di berbagai platform media baru. Tidak tanggung-tanggung Das’ad Latif punya 1,87 juta subscriber di kanal Youtube. Dengan rata-rata satu video bisa di tonton ratusan ribu, bahkan beberapa video ceramah Das’ad Latif yang populer bisa mencapai di atas lima juta penonton.
Das’ad Latif, Imun dan Iman untuk Negeri
Sejak awal pandemi Covid-19, Das’ad Latif aktif melakukan kampanye dan dakwah baik lewat televisi maupun media sosial akan pentingnya menjaga diri pada masa pandemi. Bahkan, pada masa-masa awal Covid-19 di tahun 2020, ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Makassar, Dai yang punya gelar P.hD dari Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut, ikut langsung turun bersama aparat kepolisian untuk menghimbau warga menghindari kerumunan.
Konsistensi Das’ad Latif sebagai dai yang aktif menyerukan upaya melawan pandemi, juga dipraktekkan, layaknya berita yang ramai di sampaikan oleh banyak media, ketika Das’ad tidak segan-segan membubarkan kerumunan jamaah ceramahnya sendiri yang menurutnya sudah tidak lagi menaati protokol kesehatan.
Bagi saya, Dai yang terkenal dengan jargon “gas poll” dan “beleng-beleng” lewat beragam aksi dan cara dakwah yang dijalankan, sesungguhnya telah menunjukan fungsinya sebagai seorang opinion leader, influencer atau pemuka opini. Pada bidang ilmu komunikasi yang saya maupun Ustadz Das’ad sudah pasti pelajari, kami diajarkan akan peran penting seorang Opinion leader.
Layaknya doktrin yang disampaikan oleh Rogers (1964) menyangkut Difusi dan Inovasi bahwa difusi sebagai proses ketika inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dalam sebuah sistim sosial, senantiasa membutuhkan kehadiran dan peran seorang Opinion leader yang menjadi pemuka pendapat ditengah-tengah publik.
Kehadiran seorang pemuka pendapat, bukan hanya sekedar menjadi sebagai perantara informasi, tetapi juga menambahkan unsur persuasi ketika meneruskan pesan kepada orang lain, agar mudah dipahami lalu diikuti. Pada titik inilah, menurut saya seorang Das’ad Latif mampu menjalankan peran dengan baik.
Lewat pesan-pesan ceramah di Youtube, Dai asal Sulawesi Selatan ini mampu menjadi perantara antara pesan pemerintah, dunia kesehatan dan publik, akan pentingnya menaati protokol kesehatan. Tentu saja dengan bumbu gaya persuasi khas Das’ad Latif, sebagai seorang dai yang paham ilmu agama sekaligus seorang doktor komunikasi.
Das’ad Latif sebagai seorang pemuka opini, secara simbolik telah menjadi imun baru bagi publik akan berbagai informasi yang sering memicu konflik dan pertentangan. Berbagai isu seperti pembatasan aktivitas rumah ibadah dan berbagai kegiatan keagamaan selama ini, sering menjadi virus baru di tengah-tengah publik yang senantiasa menjadi letupan dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat yang membuat banyaknya program dan arah kebijakan penanganan pandemi yang dilakukan oleh pemerintah lambat atau bahkan gagal.
Melalui pesan-pesan dakwahnya, menurut saya, Das’ad Latif juga menjadi kompas yang memandu umat keluar dari berbagai pembelahan (segregasi) yang coba memisahkan antara spirit agama dan upaya menyelamatkan diri. Layaknya, potongan Hadis Arbain yang sering dikutipnya La Dharara wala Dhirar yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan Al-Khudri RA tentang larangan melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah, No 2340 dan 2341).
Lewat hadist tersebut Das’ad Latif sebenarnya sedang mempraktekkan teologi iman, bahwa antara semangat beragama, ibadah, dan upaya melindungi diri sendiri dan orang lain bukanlah hal yang menjadi pertentangan, namun bagian dari kesatuan teologi iman itu sendiri. Karena menjaga imun dan iman, adalah saran kita menyelamatkan negeri yang kita cintai dari pandemi yang sepertinya juga belum akan berlalu.
Karena itu, kita butuh banyak ulama, para pemuka opini layaknya Ustadz Das’ad Latif.
1 Komentar