Readtimes.id– Setelah mendapat banyak masukan dari para menteri, ahli kesehatan dan juga kepala daerah, Presiden Jokowi memberlakukan PPKM darurat sejak tanggal 3-20 Juli 2021, khusus di Jawa dan Bali.
Putusan ini menjadi tanda Indonesia mulai melakukan pembatasan kegiatan masyarakat darurat. Sudah dilakukan sebelumnya, hanya saja ini berganti nama dan terdapat sedikit penyesuaian dengan tren kebutuhan lapangan.
Namun, maknanya sama, yaitu pembatasan kegiatan sosial masyarakat. Targetnya juga tidak jauh beda, untuk menekan laju Covid-19 dengan menurunkan angka mobilitas masyarakat juga mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, ada hal-hal tertentu yang menjadi target atau acuan dalam pelaksanaan PPKM darurat ini. Di antaranya yaitu adanya peningkatan tes 400-500 ribu per hari, pelacakan lebih dari 15 kontak erat tiap kasus terkonfirmasi, jumlah kasus di bawah 10 ribu per hari, tingkat kepositifan (positivity rate) di bawah 10 persen, vaksinasi 1 juta per hari, dan penurunan mobilitas masyarakat hingga 30%.
Namun setelah di evaluasi pada akhir Juli, tak ada satu pun yang tercapai kecuali satu, angka keterisian tempat tidur rumah sakit atau Bed Occupancy Rate ( BOR ) menurun, seperti yang diklaim Kemenkes.
Angka kematian harian semakin merangkak naik dari kisaran 400-500 kasus pada awal Juli 2021 menjadi 800-900 kasus pada pertengahan Juli. Rata-rata rasio positif nasional masih di angka tiga puluh persen, juga rasio lacak mayoritas kabupaten/kota 1,0 poin selama PPKM Darurat berlangsung. Artinya hanya satu orang terlacak dari tiap kasus yang terkonfirmasi.
Tidak tercapainya program ini dalam lingkup Jawa-Bali juga menurunkan kepercayaan publik pada kemampuan pemerintah untuk memberlakukan program ini secara nasional bahkan memperpanjangnya.
Baca Juga : Perang dan Peran Kita Semua
Dion Untung Wijaya, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK-SPSI) dalam konferensi persnya mendesak agar pemerintah mencari jalan lain yang lebih efektif untuk pengentasan covid, ketimbang memberlakukan PPKM.
Pihaknya bahkan sempat menyinggung akibat dari tidak efektifnya kebijakan ini membuat Indonesia menjadi episentrum covid dunia.
Pernyataan yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh beberapa media asing pada pertengahan Juli. The New York Times adalah salah satu diantaranya.
Media asal Amerika Serikat itu pada 17 Juli menyatakan bahwa Indonesia menjadi episentrum Covid-19 dunia karena selama dua hari jumlah kasus Covid-19 harian melampaui India dan Brasil dengan lebih dari 50.000 kasus dalam sehari.
Hal itu terekam pada tanggal 15 Juli dengan capaian tambahan kasus sebanyak 56.757, serta 17 Juli sekitar 51.952 kasus. Dan Ini merupakan catatan angka tertinggi sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020 di Indonesia.
Kendati demikian, menurut ahli epidemiologi Dicky Budiman dari Griffith University di Australia, dalam sebuah wawancara mengatakan, sejatinya angka tersebut belum bisa menggambarkan kondisi asli di Indonesia yang pada bulan itu masih rendah dalam pengetesan.
“Jumlah sebenarnya bisa tiga hingga enam kali lebih tinggi,” ungkap peneliti sekaligus praktisi Global Health Security Policy at the Centre for Environmental and Population Health itu.
Apa yang Salah?
Belum optimalnya pelaksanaan PPKM darurat menyisakan tanya besar yang harus segera dijawab untuk kemudian terciptanya perbaikan-perbaikan di masa mendatang.
Pakar kebijakan publik Universitas Hasanuddin, Deddy T Tikson dalam wawancaranya bersama readtimes.id menuturkan, sejatinya hal ini disebabkan karena tidak terbangunnya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam penanganan covid. Hal ini tak lain karena adanya perbedaan sudut pandang yang digunakan masyarakat juga pemerintah.
Dalam penanganan Covid, pemerintah menggunakan lebih dari satu sudut pandang. Sementara masyarakat cenderung menggunakan satu sudut pandang yang biasanya berangkat dari kebutuhan dasar mereka di saat krisis.
“Sehingga yang terjadi adalah ketidakpatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,” tukasnya.
Ketidakpatuhan ini terjadi tak lain juga didorong oleh pemerataan pemberlakuan kebijakan di lapangan, di mana biasanya bertentangan dengan kondisi riil masyarakat.
Baca Juga : Saatnya Perang Gerilya Melawan Covid
“Dalam sektor ekonomi misalnya, tentu PPKM ini sangat memberatkan bagi mereka yang bergantung pada pendapatan harian,” tambahnya.
Sehingga yang harus dilakukan pemerintah adalah segera melakukan penyesuaian-penyesuaian, seperti memberikan kelonggaran atau insentif khusus agar mereka dapat bertahan.
Alumni salah satu universitas di Australia Barat ini juga membenarkan, dalam kondisi krisis seperti ini pemerintah pada akhirnya memang akan sangat mudah terjebak pada perubahan kebijakan yang dilakukan secara tiba-tiba. Kondisi yang jelas akan dipandang masyarakat sebagai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat kebijakan.
Namun itulah dunia hari ini, di mana semua pemimpin tengah bergelut mencari pola kebijakan yang tepat untuk berperang melawan Covid 19, demi menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa.
Tambahkan Komentar