Judul : Langit Ketujuh
Penulis : Naguib Mahfouz
Penerbit : Penerbit Trubadur
Tahun Terbit : Juli 2018
Tebal : ii+99 hlm
Dalam dunia Islam dikenal mitologi Langit Ketujuh—salah satunya lewat kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW ke sidratul muntaha atau Langit Ketujuh itu sendiri. Dan secara eskatologis Islam disebutkan bahwa setelah meninggal manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk diadili satu persatu. Tapi bagaimana jika pengadilan itu bertempat di Langit Pertama dan salah satu hukumannya adalah diturunkan ke bumi atau dilahirkan kembali?
Pemikiran seperti ini menjadi konsep novelet menarik seorang penerima Nobel Sastra 1988 asal Mesir, Naguib Mahfouz. Novelet mungil ini dapat kita tuntaskan dalam sekali duduk—hanya 99 halaman dengan ukuran sedikit lebih besar dari buku saku—sekaligus absah untuk dibaca ulang guna mencari dan merenungkan gagasan filosofisnya.
Kisah novelet ini sederhana: tentang pemuda bernama Raouf Abd-Rabbah yang dibunuh oleh sahabatnya sendiri, Anous Qodri. Motif pembunuhannya disebabkan rasa cemburu—Anous sang pembunuh ternyata menginginkan kekasih Raouf bernama Rashida. Lalu Anous terbunuh oleh Rashida saat mendekatinya dan berusaha berbuat hal tak senonoh. Ayah Anous bernama Qodri (tukang jagal yang suka menindas dan mempermainkan hukum) marah atas kematian Anous. Rashida beserta Ibunya harus meninggalkan desa tersebut karena takut pada bahaya yang bisa saja menimpanya.
Plot atau alur serupa itu memang mudah saja untuk diikuti pembaca. Namun pertaruhan novel ini bukan pada bentuk, akan tetapi pada gagasannya yang kaya, yang memadukan unsur kesejarahan, mitologi dunia Islam, reinkarnasi, filsafat (sosial dan moral), dan doktrin agama. Jadi ini novel yang ringan sekaligus ‘berat’ atau berbobot. Ringan secara bentuk dan ukuran, berbobot secara konsep dan isi cerita.
Kita akan diajak memahami sekaligus mengkritik ambisi manusia pada kekuasaan. Kita akan diajak merenungkan tugas manusia di atas dunia. Kita juga sekaligus disajikan informasi secara tersirat mengenai sejarah dunia atau Mesir sendiri, imajinasi soal reinkarnasi tokoh-tokoh besar dunia seperti Hitler, Lenin, Stalin, dan tokoh revolusioner Mesir itu sendiri. Semua ajakan itu mengalir lembut kadang alot melalui percakapan si Abu—pengacara di Langit Pertama—dengan tokoh dalam novel yang meninggal dunia lalu memasuki Langit Pertama sebelum masuk pada jenjang langit berikutnya, sebagai bentuk pembersihan diri dari dosa.
Ketika Raouf meninggal, ia dihukum menjadi pendamping spiritual pembunuhnya sendiri, yakni sahabatnya sendiri, si Anous. Di Langit Pertama ini orang-orang akan diadili dan hukumannya ada dua: menjadi pendamping spiritual atau terlahir kembali di dunia. Saat Raouf menjadi pendamping spiritual si Anous, ia dinyatakan gagal karena terlalu dikendalikan oleh keegoisannya sendiri.
Kemudian saat Anous meninggal dan memasuki Langit Pertama, ia pun dihukum menjadi pendamping spiritual ayahnya sendiri, yakni Bos Qodri si Penjagal. Misinya pun gagal. Lalu Anous dan Raouf kemudian dihukum untuk terlahir kembali, dan menariknya saat mereka reinkarnasi, mereka bertukar posisi: Anous terlahir menjadi Raouf, begitu pun sebaliknya. Ini menarik, karena antara karakter keluarga mereka sangat berbeda: Qodri si Penjagal adalah laki-laki kaya dan punya kekuasaan serta penindas, sedangkan ayahnya Raouf biasa-biasa saja.
Cerita berakhir saat keluarga Qodri mulai goyah oleh sikap anaknya yang menjadi polisi yang membenci penindasan, yang dengan begitu sekaligus membenci ayahnya. Singkat cerita, si Raouf (yang sesunggunya adalah Anous yang terlahir kembali) tewas dalam perkelahian dengan anak buah ayahnya, dan ayahnya—yaitu si Qodri Sang Penjagal—juga ikut mati, di tangan Raouf sendiri.
“Langit Ketujuh” (judul asli: Al-Sama’ As-Sabi’ah) pertama kali terbit pada 1979. Novelet ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan baik oleh Syhiabul Furqon. Ini adalah novelet yang memadukan gagasan filosofis, aspek sejarah, dengan latar kosmologi Islam dan realita eskatologis. Gagasan-gagasan yang sesungguhnya bertentangan—seperti konsep Langit Ketujuh sendiri yang berasal dari dunia Islam dan konsep Reinkarnasi yang kita tahu berasal dari dunia Budha—dibaurkan dengan apik untuk menghadirkan semacam kritik pada tanggung jawab sosial dan moralitas manusia selama hidup di atas bumi.
Salah satu kutipan yang bisa kita ambil dari novelet ini yang menunjukkan semacam kritik pada kekakuan berpikir atau sikap dogmatis (ini dalam konteks beragama tapi bisa pula dalam konteks berideologi) adalah ini: “Dia memaksakan keesaan Tuhan kepada orang-orang dengan kekerasan, alih-alih dengan cara meyakinkan dan dengan argument rasional. Karenanya, dia membuat hal itu lebih mudah bagi musuhnya untuk kemudian menghapus Tuhan dari orang-orang dengan cara serupa—dengan paksaan”.(hlm 19).
1 Komentar