RT - readtimes.id

Ada Tragedi Kemanusiaan dalam Sejarah Kopi Indonesia

Judul    : Babad Kopi Parahyangan

Penulis : Evi Sri Rezeki

Penerbit : marjin kiri

Tahun Terbit : Februari 2020

Tebal  : I – x + 348 hlm

Kenyataan bahwa kopi telah menjadi kian fenomenal rasa-rasanya berat untuk disangkal. Sekian pujian dan pemujaan terhadap kopi—aromanya, variasi pengolahan dan rasanya, dan sebagainya—membuat si mutiara hitam ini dipelajari dan dikembangkan terus-menerus. Namun, siapa nyana, justru dalam sejarah penanamannya di Nusantara, kisah kopi ini justru dihiasi dengan tragedi kemanusiaan yang menyesakkan dada. Tema inilah yang diusung Evi Sri Rezeki dalam novelnya, “Babad Kopi Parahyangan”.

Novel dengan ketebalan yang lumayan—348 halaman— ini memang berlatar sejarah abad kolonial di Hindia Belanda. Namun demikian, narasinya lincah dan ringan meski data sejarah sosial masa itu tersebar dalam tubuh novel. Waktu dan latar tempat novel ini berkisar pada Parahyangan di bumi Pasundan tepat di ujung tanduk pemberlakuan kebijakan Tanam Paksa (cultuurstelsel) Pemerintah Kolonial Belanda. Periode Tanam Paksa sendiri mulai dari 1830 hingga 1870, sementara si Karim, tokoh utama novel ini, mendatangi Parahyangan pada 1869, tepat pada umurnya yang genap sembilan belas tahun.   

Garis besar cerita novel ini mudah untuk diikuti: dimulai dari pemuda bernama Karim dari Batang Arau di Sumatera Barat yang memutuskan merantau ke Parahyangan untuk melunaskan ambisinya menjadi Bandar kopi. Keputusan merantau ini sedikit banyak dipantik oleh tokoh lain bernama Si Pelaut. Dengan sedikit drama—Karim patah hati oleh Uni Fatimah, perempuan yang sebaya Anaknya—ia meninggalkan tanah Minang menuju tanah Batavia. 

Setiba di Parahyangan dan mulai memasuki dan bekerja di perkebunan kopi, drama kemanusiaan itu mulai semakin tebal muncul. Karim menyaksikan sendiri bagaimana kondisi memprihatinkan para petani kopi sehari-hari yang harus tidur berdesak-desakan di gubuk yang menyedihkan, bagaimana petani yang berusaha kabur ditembak mati oleh pasukan Jayengsekar (kelompok kekerasan bentukan Daendels, Jenderal Hindia Belanda waktu itu sekaligus penggagas Sistem Tanam Paksa), bagaimana perilaku mandor dan penguasa yang sewenang-wenang dalam memperlakukan petani, dan masih banyak peristiwa tragis lagi yang ia saksikan.

Tentu ada tokoh-tokoh lain di seputar si Karim yang turut mewarnai kisah novel yang rencananya jadi pembuka trilogi ini. Ada si Ujang si penarik kereta pos, ada juga si Euis, perempuan muda yang membantu Karim dan kelak jadi istrinya, ada pula si Asep dan Ateng, teman sesama pekerja di pertanian kopi. 

Kisah percintaan (Karim dan Euis), persahabatan (Karim dengan Si Pelaut, si Asep, Ateng, dan lain-lain), dan konflik serta intrik (dengan mandor Satria), dan kisah jenis lain, membuat novel ini mendebarkan untuk  diikuti alurnya.

Periode Tanam Paksa beserta dampak sosialnya yang Ironis

Bagi mereka yang ingin mempelajari gambaran praktik dan dampak Tanam Paksa di Nusantara, novel ini saya kira bisa menjadi pintu masuk. Tanam Paksa, kita tahu, adalah sistem di mana penguasa kolonial memberlakukan satu kebijakan baru yang memerintahkan petani melalui penguasa lokal untuk menanam sebagian tanah garapan dengan tanaman ekspor seperti nila, kopi, dan lain-lain. Sistem yang bertujuan ekonomis untuk segera mengisi kembali kas Belanda yang kosong karena membiayai perang selama ini, mencoba membuat satu aturan dengan memanfaatkan dan merekayasa sistem kerja lokal. 

Rasa-rasanya, penelitian Evi si penulis novel pada era Tanam Paksa ini nampak serius dan mendalam. Data-data atau fakta seputar dampak sosial Tanam Paksa disebar dengan lembut ke dalam narasinya. Sehingga antara unsur sastra dan fakta sejarah berpadu tanpa terkesan yang satu hanya bersifat tempelan atas yang lain.

Misalnya, tokoh si Asep disebut sebagai kepala cacah. Nah, cacah ini adalah sistem kerja pada tanah pemberian penguasa tradisional. Sistem ini memiliki semacam hirarki, yaitu satu kepala dan beberapa buruh tani sebagai penggarap tanah. Ada beberapa lagi kunci untuk memahami karakter dan praktik Tanam Paksa dari novel ini, yaitu berbagai istilah jenis kerja seperti ‘kerja tugur’. Kerja tugur ini juga sistem kerja tradisional atau kerja dalam hirarki lokal, atau pekerjaan si petani untuk para penguasa lokal. Jenis-jenis kerja lokal inilah yang ‘dimanfaatkan’ oleh penguasa kolonial dalam penerapan Tanam Paksa. Sistem upah tidak diberlakukan secara resmi.

Kita juga lamat-lamat akan menyadari bahwa ‘kehadiran’ tokoh kolonial dalam novel ini sedikit sekali. Jadi konfliknya kesannya seolah-olah semata berkisar pada kalangan petani dengan mandor dan penguasa lokal. Padahal dampak penindasan petani kopi ini justru lahir karena kebijakan Tanam Paksa tersebut. 

Tentu saja ada bagian-bagian menarik lain dalam novel ini yang patut menjadi perhatian. Misalnya, bagaimana tokoh juragan, penguasa tinggi lokal perkebunan kopi, yang mulai dirasuki oleh semangat dan nilai-nilai liberalisme. Dia menggemari buku Max Havelaar, membacanya dengan khidmat dan memberi catatan.Ini hal yang menarik, mengingat posisinya sebagai penguasa, justru mengagumi ideologi yang justru bakal mengancam posisinya sendiri dalam masyarakat lokal.  

Yang tak kalah menarik buat saya adalah tokoh Mandor Satria. Jika kita resapi sejarah hidupnya Satria di mana dia berawal dari petani biasa lalu menjadi mandor jahat setelah perlakuan penguasa pada keluarganya yang berakibat hilangnya harta bendanya. Saya kira, untuk memahami bagaimana kejamnya penguasa lokal dan penguasa kolonial dalam praktik kekuasaan, kita perlu mempertimbangkan tokoh yang barangkali hanya dipandang sebagai tokoh jahat semata yang senang menindas petani sebangsanya.

Begitulah, novel ini sejatinya memberikan jalan pembuka bagi kita untuk lebih jauh menyerapi satu periode pelik bernama Tanam Paksa. Sistem ini sesungguhnya kontroversial di antara kaum kolonial atau bangsa Belanda sendiri. Ada pendukungnya, namun tak terhitung juga yang menolak. Namun, lepas dari itu semua, hanya tersisa satu yang tak mungkin terbantahkan: sistem Tanam Paksa jelas-jelas menindas dan menyengsarakan petani. Dan novel “Babad Parahyangan” ini berhasil menggambarkan kondisi penindasan dan kesengsaraan tersebut. 

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: