Kesetaraan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan belum menunjukkan hasil yang signifikan di usis 76 tahun Indonesia merdeka. Padahal pasal 27 UUD 1945 mengamanah kesetaraan dimuka hukum (pasal 1), kesetaraan mendapatkan penghidupan yang layak (pasal 2) dan kesetaraan ikut serta dalam pembelaan negara (pasal 3). Gaungan kesetaraan ini juga didukung oleh dunia internasional.
Sejak 1979, PBB secara resmi mengadopsi sebuah instrumen hukum terkait dengan hak perempuan, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Terlebih penerapan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Serta, Permendagri No. 67 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah. Ironisnya, perempuan masih dibelenggu budaya patriarki.
Perdebatan akan UU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) masih bergulir tanpa ujung yang jelas. Terlebih lagi, data masih mendukung fenomena diskriminasi yang mengakar. Data Kajian Indeks Ketimpangan Gender (GII) BPS, 2020, UNDP mengukur nilai GII Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia dan wilayah Asia Timur & Pasifik pada angka 0,421 pada 2019. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan sebesar 51,9% masih terpaut jauh dari persentase laki-laki sebesar 83,1%.
Selanjutnya Catatan Tahunan oleh Komnas Perempuan Indonesia tahun 2020 terkait tindak kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik jugs menunjukkan angka sebesar 21 % (1.731 kasus). Perkembangan teknologi juga membuka peluang terjadinya kasus kekerasan berbasis gender yang korbannya sebagian besar perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian pembangunan di Indonesia belum optimal.
Pada tingkat kab/kota, data BPS Kota Makassar tahun 2021 mengungkap keterbukaan akses bagi perempuan di Kota Makassar masih terpaut jauh dari laki-laki, terlihat dari jumlah tenaga kerja perempuan berusia 15 tahun keatas sebesar 214.372 masih kalah jauh dari jumlah tenaga laki-laki sebesar 370.953. Hal ini menunjukkan masih pentingnya komitmen dalam Pengarusutamaan Gender.
Psikolog Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kota Makassar mengatakan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Makassar meningkat ditengah pandemi COVID-19. Data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar menunjukkan terjadi 43 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi pada perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2020. Terlebih lagi, Pelecehan seksual di area publik juga masih kerap terjadi, kasus 2018 yang lalu, seorang mahasiswi yang mengalami pelecehan seksual dari tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Kota Makassar.
Problematika yang terjadi harusnya menghadirkan kembali semangat patriotisme perempuan Indonesia. Bercermin dari gerakan 1912, Putri Mardika mendorong melek pendidikan bagi perempuan Indonesia. Berdirinya Sekolah Kartini pada tahun 1913. Serta, hadirnya Konferensi Puncak Wanita Sedunia yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995 harusnya mendorong komitmen pemerintah untuk meningkatkan status perempuan meliputi 4 isu global yakni kesetaraan gender, keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan intergrasi kependudukan kedalam kebijakan pembangunan yang berkesinambungan dan program penghapusan kemiskinan.
Konteks zaman saat ini, gerakan perjuangan kesetaraan gender dan pemenuhan hak-hak perempuan tidak optimal ketika bergerak secara sporadis, harusnya didukung dengan sinergitas dan kolaborasi antar stakeholders. Ansel and Gash (2007) menguraikan karakteristik kolaborasi yang mendukung optimalisasi pencapaian tujuan bersama. Pertama, shared aims, dimana stakeholders harus saling percaya, sejajar dan resiprositas.
Peraturan Walikota Makassar Nomor 37 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Daerah yang menghadirkan Pokja PUG yang anggotanya terdiri dari SKPD di Kota Makassar menguatkan terwujudnya pelayanan publik yang responsif gender.
Kedua, trust, para pemangku kepentingan saling memercayai untuk bersama-sama mencapai tujuan masing-masing. Dimana pelibatan perempuan dalam Musyawarah Tingkat Kecamatan dan Kelurahan (Musrembang) harus dioptimalkan. Ketiga, resiprositas, semua stakeholders mendapat manfaat dari kolaborasi yang terbangun. Hadirnya kesetaraan harus ditanamkan sebagai sebuah kebutuhan bersama untuk menciptakan tatanan demokrasi dan refleksi nilai pilar kebangsaan. Kegiatan reses dan sosialisasi peraturan daerah yang dilakukan oleh anggota legislatif menjadi sangat penting. Keempat, equity, harus adanya shared power antara stakeholders.
Pemerintah sebagai leading sector harusnya lebih gencar dalam menguide lembaga non pemerintah untuk ikut terlibat, dapat melalui pengelolaan dana Swakelola III. Kelima, shared funding, adanya komitmen untuk berbagi sejumlah hal seperti biaya administrasi, pekerja dan sumber daya secara transparan. Ketersediaan data terpilah gender, serta hadirnya portal Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai ruang publikasi laporan dari stakeholders yang terlibat.
Penulis : Alfiana (LSKP Project Leader and Junior Researcher)
1 Komentar