Readtimes.id– Bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke barisan koalisi pemerintahan Jokowi menambah jumlah partai oposisi yang berhasil dirangkul oleh mantan Wali Kota Solo itu.
Alhasil sekarang ada tujuh partai besar di belakang pemerintah yang mempunyai suara di parlemen. Sementara oposisi menyisakan dua nama yakni Demokrat yang dinahkodai Agus Harimurti Yudhoyono dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di bawah kepemimpinan Ahmad Syaikhu.
Mengusung koalisi “gemuk” nampak kembali menjadi tradisi yang diteruskan Jokowi di periode kedua kepemimpinannya. Sebelumnya hal serupa juga dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjabat. Seperti diketahui di era pertama kepemimpinan SBY yakni pada 2004-2009 hanya ada satu partai oposisi yakni PDI Perjuangan, sementara di periode kedua (2009-2014 ) totalnya menjadi tiga setelah Gerindra dan Hanura menyusul PDIP
Sistem multipartai yang digunakan Indonesia adalah dampak mengapa sejumlah partai pasca pemilu langsung cenderung memilih berkoalisi. Seperti yang kemudian diterangkan pakar politik Universitas Hasanuddin, Sukri.
Menurutnya dengan sistem multipartai seperti yang diterapkan di Indonesia sekarang, membuat polarisasi kekuatan cenderung menjadi besar sehingga meminimalisir dominasi satu partai dalam sebuah pemilu. Alhasil ketika tidak ada partai yang mencapai suara 50 persen ke atas, maka koalisi adalah sebuah keniscayaan untuk menjamin stabilitas sebuah pemerintahan.
“Alasan berikutnya adalah partai politik kita hari ini tidak lagi memiliki ideologi sehingga sangat mudah bagi mereka melakukan koalisi berdasarkan kepentingan-kepentingan jangka pendek,” terangnya.
Ini akan berbeda ketika partai politik memiliki ideologi, dimana cenderung akan membentuk koalisi dengan partai yang memiliki kemiripan ideologi, sehingga kemungkinan untuk terbentuknya sebuah koalisi gemuk cenderung sulit.
Kendati demikian, menurut pria yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Bonn, Jerman ini, koalisi gemuk sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan jika kemudian mengingat kepentingan jangka pendek setiap partai politik yang mampu membuat kondisi internal koalisi menjadi kian dinamis, bahkan tidak jarang membuat partai koalisi menjadi “rasa” oposisi.
Di era SBY misalnya, terdapat sejumlah kebijakan pemerintah yang justru tidak mendapat dukungan dari partai koalisi di parlemen, bahkan tidak sedikit partai koalisi yang justru mengancam posisi pemerintahan saat itu.
Kebijakan menaikkan BBM oleh pemerintah misalnya, di mana justru direspon dengan usulan penggunaan hak angket oleh 117 anggota DPR yang datang dari delapan fraksi untuk membongkar carut-marut pengelolaan migas di Indonesia.
Tidak berhenti disitu, hak angket juga kembali digulirkan saat kasus Bank Century menyeruak. Saat itu Sejumlah fraksi koalisi di parlemen justru mendukung partai oposisi PDIP yang mengusulkan untuk dilakukannya penyelidikan dana bailout sebesar Rp6,7 triliun dari pemerintah untuk Bank Century.
Sejumlah partai seperti Golkar, PKS, PPP, bahkan menyatakan ada penyimpangan dalam penetapan Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik oleh pemerintah. Dugaan adanya konspirasi antara Direksi Bank Century menjadi bola panas yang turut digulirkan oleh oposisi seperti PDIP, Gerindra, dan Hanura.
Hal yang kemudian dipandang bisa juga terjadi di era Jokowi di mana partai koalisi justru mendukung oposisi. Namun jika melihat hingga hari bergabungnya PAN ke koalisi istana dimana bersama dengan terdengarnya beragam pujian yang dialamatkan oleh sejumlah ketua umum parpol pada Jokowi, atas upayanya dalam menangani pandemi saat pertemuan di istana 25 Agustus lalu, nampaknya hal tersebut sangat kecil kemungkinan terjadi setidak di akhir periode sang Presiden.
Berbeda dengan pemerintahan SBY yang di periode awal sudah nampak tidak mampu mempertahan soliditas internal di antara partai koalisi. Hingga periode kedua sosok Jokowi justru mampu mempertahankan soliditas internal partai koalisi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kebijakan pemerintah yang cenderung mudah direstui fraksi-fraksi di DPR, meskipun tak jarang masih menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat yang akhirnya berujung Judicial review sejumlah undang-undang.
Jika demikian maka tidak berlebihan ketika publik hari ini khawatir dengan koalisi gemuk pemerintah dan mempertanyakan kemampuan oposisi untuk melakukan kontrol kebijakan. Begitu pula dengan demokrasi negara ini yang mungkin saja benar-benar telah mati, ketika ternyata penyelenggaran pemilihan umum ke depan hanya akan dianggap sebuah formalitas belaka untuk jalan menuju sebuah koalisi tanpa ada oposisi.
3 Komentar