Readtimes.id– Jika tahun ini tidak juga disahkan, maka genap sembilan tahun sudah publik menunggu negara memberikan kepastian hukum para korban kekerasan seksual.
Berawal pada 2012 Komnas Perempuan meminta agar DPR bisa membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Usulan ini berangkat dari maraknya kasus kekerasan seksual yang tiap tahun angkanya terus meningkat, baik di ranah privat maupun publik.
Hingga tahun 2016, akhirnya DPR menyetujuinya dengan meminta Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik payung hukum bakal calon Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Presiden Jokowi pun setuju waktu itu, hingga tepatnya Juni 2016 RUU tersebut masuk dalam prolegnas prioritas, dan pada 6 April 2017 disepakati sebagai inisiatif DPR.
Menjadi RUU prolegnas prioritas nyatanya tidak menjamin perjalanan RUU PKS lancar begitu saja. Dalam perjalanannya sempat mengalami penundaan pada tahun 2018 dengan alasan masih ada perbedaan pandang di tataran internal parlemen.
Adalah Anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Iqbal Romzi, pada rapat 23 Januari 2018, mempertanyakan pidana terhadap kekerasan seksual berupa perkosaan dalam perkawinan. Ia mengaitkannya dengan dalil agama bahwa istri wajib melayani suami. Begitu pun Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB Marwan Dasopang pernah mengaitkan RUU ini dengan homoseksual.
“Yang dikhawatirkan adalah judul dan definisi menjadi liberal atau membolehkan pintu masuk LGBT,” kata Marwan, 19 September 2019.
Perdebat yang nampak tidak menjadikan data Komnas Perempuan sebagai bahan pertimbangan. Tercatat pada 2017, ada 392.610 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlahnya bertambah 16,5 persen di tahun 2018 menjadi 406.178. Lalu semakin naik di 2019 hingga menembus angka 431.471 kasus.
Itu pun didapatkan dari para korban yang memberanikan diri angkat bicara melalui sejumlah lembaga pendamping, kepolisian, maupun institusi penegak hukum lainnya yang bekerja sama dengan Komnas Perempuan. Lebih dari itu, ibarat “gunung es” masih banyak kasus yang belum terungkap bila melihat korban yang baru berani angkat bicara selang beberapa tahun pasca peristiwa itu mereka alami.
Berlanjut pada tahun 2020, DPR kembali mendepak (RUU PKS) dari prolegnas prioritas dalam rapat kerja yang digelar pada awal Juli dengan dalih ada sejumlah pasal pemidanaan dalam RUU PKS yang berkelindan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Oleh karena itu sebelum RUU PKS, mereka harus mengesahkan RKUHP terlebih dulu. Sementara dalam perjalanan, RKUHP ditolak publik karena memuat pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
Kini setelah ada kasus perundungan dan pelecehan seksual yang menimpa seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat yang diduga dilakukan 7 orang rekan kantornya, dorongan untuk mempercepat pengesahan RUU ini kembali menguat dan mendapat respon dari sejumlah anggota DPR.
Hapus Pasal dan Ganti judul
Dalam rapat pleno penyusunan draf RUU PKS pada Senin (30/8/2021), DPR memunculkan draft terbaru RUU PKS, yang telah berganti judul dan penghapusan beberapa pasal.
Tim Baleg DPR RI menghilangkan kata ‘Penghapusan’ diganti dengan ‘Tindak Pidana’. Alasannya karena mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus.
Tidak berhenti disitu, naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual, yakni: 1) pelecehan seksual (fisik dan non fisik); 2) pemaksaan kontrasepsi; 3) pemaksaan hubungan seksual; dan 4) eksploitasi seksual.
Berbeda dengan naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan sembilan bentuk kekerasan seksual yang didasarkan pada temuan kasus oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan, yakni (pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual).
Jika ditotal ada sekitar 85 pasal yang telah dihapus dari 128 pasal yang ada tahun 2020, seperti yang baru-baru ini diungkapkan oleh Naila, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) dalam keterangan tertulisnya yang diterima readtimes.id.
Menurut Naila, hilangnya sejumlah elemen kunci di RUU PKS ini merupakan kemunduran dalam upaya perlindungan korban kekerasan seksual.
“Proses pembahasan ini adalah sebuah kemajuan yang baik, tapi perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual,” terangnya.
Sebagai masyarakat sipil, lanjut Naila, perlu menguatkan kembali solidaritas pada korban kekerasan seksual dengan mendesak Baleg DPR RI untuk menyesuaikan materi RUU PKS dengan kebutuhan korban.
Political will
Jika dilihat pada perkembangannya, baik DPR maupun pihak istana telah memahami dan mengetahui sejumlah data terkait peningkatan jumlah kekerasan seksual yang tiap tahun terangkum dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan.
Buktinya tidak hanya Ketua DPR RI Puan Maharani, yang pada Maret lalu menyatakan bahwa masuknya RUU PKS di prolegnas 2021 adalah wujud pertimbangan suara publik terkait sejumlah kasus kekerasan seksual yang berpotensi mengancam siapapun. Belum lama tepatnya bulan Juni Kepala Sekretariat Presiden, Moeldoko, dalam siaran resminya juga mendesak agar RUU PKS segera diselesaikan.
Kendati demikian seperti yang sudah sudah, dukungan berakhir hanya sekadar dukungan, memasukkan RUU PKS dalam prolegnas pun dari tahun ke tahun bukan jaminan bahwa akan adanya percepatan pembahasan, meskipun jumlah korban terus bertambah.
Tidak adanya “political will” di tataran DPR membuat segala sesuatunya menjadi sulit, seperti kata Bahrul Fuad, Komisioner Perempuan dalam wawancaranya bersama media.
“Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban,” terang Fuad
Hal yang seharusnya bisa terselesaikan dengan mudah jika saja Jokowi dengan penguasaannya pada 82 persen kursi di DPR bersedia turun tangan, dengan mengambil alih RUU PKS dari inisiatif DPR menjadi inisiatif pemerintah, seperti yang dilakukan pada revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), yang mana dulunya adalah inisiatif pemerintah kemudian beralih menjadi inisiatif DPR.
Sekali lagi dengan catatan jika saja Pak Dhe mau.
Baca Juga : Suka-Suka Jokowi
4 Komentar