Readtimes.id– Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Dunia, baru akan berlangsung dua bulan lagi, tepatnya 10 Desember, namun publik Tanah Air nampak ingin memperingatinya lebih awal.
September kembali menjadi momentum puncak untuk menagih utang negara terkait penyelesaian kasus HAM Tanah Air. Baik atas persoalan baru yang beberapa tahun belakangan terjadi atau persoalan yang telah terjadi di masa lampau.
Kendati demikian, tahun berganti juga rezim, lagi dan lagi nampak tidak pernah memberikan kepastian kapan publik tidak akan lagi merayakan September dengan agenda yang sama — mempertanyakan komitmen negara dalam menuntaskan persoalan HAM di Tanah Air.
Kurang lebih 1,5 dekade, Pengadilan HAM Tanah Air tidak lagi pernah mengadili perkara. Meskipun dalam perkembangannya Komnas HAM mendapatkan sejumlah temuan baru terkait dugaan pelanggaran HAM, selain juga berhasil dalam menyelesaikan penyelidikan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Substansi hukum dan persoalan hukum acara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM dinilai menjadi problem utama sehingga perlu dilakukannya revisi.
Hal ini diakui Amiruddin Al Rahab, Komisioner Komnas HAM dalam diskusi yang bertajuk “Masa Depan Pengadilan HAM” Rabu (29/9) yang disiarkan melalui laman Youtube Humas Komnas HAM RI.
“Kalau undang-undang ini tidak direvisi segera, pengadilan HAM tidak akan berdiri lagi karena memang tidak bisa berjalan, ” terangnya.
Pihaknya mengakui pada praktiknya undang-undang ini masih menimbulkan perbedaan pandang di pihak majelis hakim. Misalnya dalam menjelaskan definisi meluas dan sistematik dalam menentukan unsur-unsur kejahatan manusia yang berdampak pada tidak maksimalnya vonis yang dijatuhkan.
Hal ini bisa dilihat dari persoalan yang kemudian dihadapi oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung saat ini dalam menentukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan 12 peristiwa dugaan pelanggaran HAM di masa lalu yang telah diselidiki untuk kemudian masuk pada tahap penyidikan.
Senada dengan Amiruddin, Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, juga mengutarakan perlu adanya revisi terkait UU No 26 Th 2000. Mengingat semangat awal munculnya UU ini menurutnya hadir guna menghindari kewajiban Indonesia atas pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur secara Internasional.
“Kalau tidak dibentuk UU pengadilan HAM dan pengadilan HAM di Indonesia, maka kasus Timor Timur terancam dibawa ke pengadilan Internasional,” ucapnya dalam forum yang sama.
Hal ini yang menurutnya jelas bertolak belakang dengan harapan publik yang saat ini mayoritas memandang UU pengadilan HAM dapat mengentaskan seluruh persoalan HAM.
Fokus Revisi
Menyoal revisi UU Pengadilan HAM, Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Busyra Azheri memandang perlu adanya pemisahan antara kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dipandang sebagai salah satu kelemahan dalam penyelenggaraan proses peradilan bagi perkara kejahatan HAM.
Pada kesempatan yang sama pihaknya menawarkan beberapa opsi. Diantaranya memperluas kewenangan Komnas HAM untuk menjadi penyelidik dan penyidik atau memperluas kewenangan Jaksa Agung sebagai penyelidik atau penyidik, serta bisa juga membentuk lembaga penyidik dan penyelidik independen.
Namun diantara beberapa opsi memperluas kewenangan Komnas HAM untuk menjadi penyelidik dan penyidik menjadi opsi yang paling memungkinkan, sebab telah lama dipercaya sebagai lembaga yang independen sejak dulu dalam persoalan HAM.
1 Komentar