RT - readtimes.id

Politisasi Upah Buruh

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengambil kebijakan untuk menaikkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 5,1% menjadi Rp4.641.854. Keputusan ini telah mempertimbangkan sentimen positif dari kajian dan proyeksi bersama semua pemangku kepentingan terkait mulai bangkitnya laju ekonomi regional. Anies memilih menaikkan UMP dengan tujuan menjunjung asas keadilan bagi pihak pekerja (buruh), perusahaan, dan Pemprov. 

Perhitungan kenaikan UMP sebesar 5,1% dikaji ulang melalui formula UMP tahun 2022 menggunakan variabel inflasi (1,6%) dan variabel pertumbuhan ekonomi nasional (3,51%). Anies juga berusaha meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mengurangi biaya hidup pekerja dengan memberikan bantuan layanan transportasi, penyediaan pangan murah, dan biaya personal pendidikan bagi keluarga pekerja. 

Revisi kenaikan UMP DKI Jakarta sebesar 5,1 persen atau Rp 225.667 dari yang sebelumnya hanya naik 0,8 persen atau sekitar Rp 37.749, menjadi angin segar bagi serikat pekerja yang menuntut pemerintah daerah lebih memperhatikan keadilan dan kesejahteraan buruh. Anies dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap Undang Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi. 

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berharap pemerintah daerah bisa mengikuti jejak Anies Baswedan untuk menaikan UMP di masing-masing provinsi dan kota/ kabupaten. Keberanian pengambilan kebijakan yang dilakukan Anies sebagai bentuk komitmen untuk meletakkan hukum di atas politik dengan tidak menjadikan PP Nomor 36/2021 sebagai landasan hukum. 

Namun apakah kenaikan UMP DKI Jakarta murni ditujukan untuk kesejahteraan pekerja? Atau ada motif lain di luar kepentingan ekonomi dan hukum? Politik, misalnya. 

Politisasi Upah 

Persoalan upah minimum regional biasa dikaitkan dengan kepentingan politik untuk menjadi populis di mata masyarakat. Menurut Levin-Waldman (2001), hukum dan regulasi pada dasarnya adalah manifestasi dari pertarungan dan kompromi berbagai kelompok dalam sebuah masyarakat plural. Kebijakan upah minimum pun demikian adanya. 

Sudah menjadi konsumsi publik bahwa politik identitas telah melekat pada dua tokoh Joko Widodo (nasionalis) dan Anies Baswedan (islamis). Sejak bergabungnya Prabowo dan Sandiaga Uno dalam gerbong pemerintahan, banyak sisa-sisa pendukung jebolan 212 mengalihkan hasrat politik kepada sosok Anies Baswedan. Anies dianggap sebagai representasi politik Islam untuk menggusur hegemoni politik petahana dan kroninya. 

Situasi tersebut yang dimanfaatkan untuk sebisanya melawan kebijakan pusat. Tujuannya adalah membangun fanatisme pendukung oposisi untuk tahun politik 2024. Apalagi Anies merupakan kandidat kuat calon Presiden berikutnya. Dengan kebijakan yang mengesankan pro rakyat, Anies bisa mendongkrak basis pemilih buruh seluruh Indonesia. Sedangkan calon Presiden lain masih konsisten taat pada aturan pemerintah yang dianggap menguntungkan pengusaha dan merugikan kaum buruh. 

Terobosan yang dilakukan Anies dalam memolitisasi upah patut diapresiasi di tengah belum stabilnya ekonomi nasional. Keberanian tersebut yang mampu menaikan popularitas dan elektabilitas tokoh politik di masa mendatang. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2021, jumlah pekerja mencapai 131,05 juta orang. Jumlah tersebut merupakan potensi pemilih dalam keterlibatan politik langsung dan terbuka. 

Kebijakan yang populer dengan langsung menyentuh masyarakat akan lebih menarik untuk dipilih daripada tokoh politik yang hobi beretorika tanpa agenda dan kebijakan pro rakyat. Jokowi tidak lagi punya gairah untuk pencitraan sebab sudah dua periode menjadi presiden. Sedangkan Anies dan kepala daerah lain masih butuh pencitraan yang nyata meskipun beresiko menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Misalkan ancaman perusahaan yang akan memindahkan kantor ke luar Jakarta dan pemecatan sepihak dari pengusaha. 

Kemandirian Anies menaikan UMP tanpa diimbangi kenaikan UMP di daerah lain akan membuat gejolak ekonomi nasional. Tentu ada kecemburuan pekerja di luar Jakarta dengan perbandingan inflasi dan nilai kebutuhan pokok. Di sisi lain, jika kebijakan Anies diikuti kepala daerah lainnya, akan menurunkan kredibilitas pemerintah pusat yang tidak punya kekuasaan “mengatur” daerah. Apapun itu, upah buruh masih kental dengan nuansa politisasi tokoh politik. 

Saatnya menunggu kejutan kebijakan kepala daerah untuk merevisi kenaikan upah di daerah agar bisa menaikan popularitas dan elektabilitas. Tokoh politik perlu menimang potensi ratusan juta pemilih buruh di Indonesia. Buruh akan jadi barisan simpatisan pemimpin yang lebih menguntungkan profesinya (kenaikan upah) dibandingkan pemimpin yang hanya modal baliho di sepanjang jalan raya. 

Joko Yuliyanto

(Penggagas Komunitas Seniman NU)

Joko Yuliyanto

2 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: