Judul : Na Willa
Penuis : Reda Gaudiamo
Penerbit : POST Press
Tahun : keenam, Februari 2022
Tebal : xvi + 115 halaman
Na Willa menyediakan jendela nostalgia kepada pembacanya. Jendela yang mengajak banyak orang menengok sejenak masa lalu. Dunia masa lalu Na Willa sendiri menghamparkan kita kisah-kisah nostalgia yang jenaka namun sekaligus sarat pesan dan nilai: solidaritas, toleransi, anti-rasisme, dan sebagainya. Melalui masa kecil Na Willa kita diundang untuk tertawa, sedih, dan merenung.
Kisah Na Willa adalah kisah kita—orang Indonesia. Keseharian orang biasa di lingkungan yang juga biasa, masalah-masalah antar generasi berbeda, perbedaan agama yang direspon ganjil oleh anak kecil namun tidak oleh orang dewasa, bibit-bibit rasisme yang laten ditanamkan sejak kecil, dan sebagainya, diulik di dalam buku ini.
Tapi, jangan membayangkan semua ulikan di atas dibalut dengan narasi serius dan berat. Na Willa adalah buku fiksi yang diceritakan dengan terlampau sederhana, nampak ‘kaku’, tapi hadir seperti seorang teman yang datang bercerita dengan suntuk di hadapan kita. Ringan dan hangat.
Belum pula liustrasinya yang sangat mendukung substansi cerita. Gambar-bambar di dalam buku ini didesain minimalis, serupa sketsa garis yang ditarik ala kadarnya. Namun, properti atau isi gambarnya nampak dipertimbangkan betul untuk menangkap pesan teksnya, sehingga kita sebagai pembaca merasa terwakili oleh gambar tersebut.
Na Willa adalah anak kecil perempuan yang hidup bersama kedua orang tuanya. Ayahnya disebutkan ‘Pak’, ibunya dia panggil ‘Mak’. Ada juga asisten rumah tangga yang dia panggil ‘Mbok’. Ayahnya Na Willa adalah seorang pelaut yang jarang pulang. Ibu Na Willa pribumi, ayahnya Cina.
“Pak pernah pergi lamaaaaa sekali. Waktu dia pulang aku yang membuka pintu dan bertanya, “Om cari siapa?” Pak berdiri di depan pintu, lalu dia menangis. Untung Mak cepat keluar, kalau tidak mungkin aka nada hujan air mata.” (halaman 21).
Jika melihat jejak nostalgia naratornya sendiri yang menyinggung masa kecil Na Willa biasa mendengar siaran di radio dan menyimak lagu-lagu Lilis Suryani, kita bisa menebak latar waktu cerita Na Willa adalah tahun 60an. Peristiwa mendengar radio ini saja sudah satu bagian kisah yang jenaka: Na Willa penasaran dengan radio, kok bisa orang yang sama bisa bernyanyi di dalam radio lain pada saat yang sama pula. Khas anak kecil, memang.
Na Willa bercerita tentang teman-teman masa kecilnya: ada yang menyenangkan dia, ada pula yang dia tidak senangi. Nah, melalui kisah-kisah bersama teman-temannya inilah pesan dan nilai yang disebutkan sebelumnya—solidaritas, toleransi, dan sebagainya—tersaji di hadapan kita. Misalnya, ada Bud yang ingusnya jarang sekali kering di hidungnya, ada Dul yang jago main layangan dan kelereng serta senang sekali mengejar kereta api, ada juga Warno yang pernah dia pukul karena menyebutnya asu cino, ada Farida teman bermain Na Willa yang perempuan, dan ada beberapa lagi teman-teman Na Willa yang diceritakan dalam bagian tersendiri di halaman-halaman awal buku.
Kisah tentang Dul menyimpan kesan kesedihan tersendiri: kakinya terlindas saat mengejar kereta. Kakinya harus diamputasi. Ini membuat Na Willa sangat bersedih. “Berhenti menangis. Kaki Dul tidak akan tumbuh lagi meski kamu menangis setiap malam, kata Mak.” (halaman 36).
Lalu si Warno yang pernah mengatai Na Willa asu cino: Na Willa memukul Warno yang rupanya difabel, dan untuk itu dia dihukum oleh ibunya. “Dia bilang, “Willa, memukul orang cacat itu perbuatan yang sangat salah. Sampai kapanpun kamu tidak boleh menyakiti orang yang cacat.” (halaman 18).
Kisah tentang Farida juga menarik: Na Willa ikut Farida belajar mengaji.
“Aku ma uke rumah Farida. Boleh, Mak?”
“Hmm. Farida mau belajar mengaji. Bukan main-main, Willa. Itu sama dengan membaca alkitab di gereja.” (halaman 56).
Ya, Na Willa beragama Kristen, sementara teman-temannya adalah Islam. Tapi dia mendapat izin untuk turut melihat Farida mengaji. Sialnya, dia mendapat hukuman ketika dia membawa sprei putih bersih ke rumah Farida untuk ikut cara Farida salat.
Terlalu banyak nostalgia yang bakal menarik kita tenggelam dalam buku ini. Na Willa, misalnya tentang perjodohan yang dipaksakan yang dialami oleh Mbak Tin. Sekali lagi, respon lugu Na Willa membuat nilai cerita tersebut menjadi agak ganjil tapi membuat miris.
Saya lupa menjelaskan, jika penulis buku ini, Reda Gaudiamo merupakan musisi yang terkenal sejak menggubah puisi-puisi Sapardi Djoko Damono ke dalam lagu bersama rekannya yang telah almarhum, Ari. Dan, buku tentang Na Willa yang diceritakan di sini adalah edisi satu—ada tiga seri cerita Na Willa secara keseluruhan.
Jadi, jika kita dengan mudah jatuh cinta pada seri pertama Na Willa, nampaknya tak ada alasan untuk melanjutkan ke dua seri sisanya. Selamat membaca!
Tambahkan Komentar