Readtimes.id– Tahun ini pemerintah Indonesia harus bekerja lebih keras lagi dari tahun sebelumnya dalam menekan angka stunting. Mengingat Indonesia telah mematok target capaian penurunan stunting sebesar 14,0 persen pada 2024.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat prevalensi pada 2022 sebesar 21,6 persen. Angka ini turun 2,8 persen dari 2021 di angka 24,4 persen. Dengan demikian masih ada 7,6 persen lagi yang harus dikejar untuk sampai pada target 14,0 persen di 2024.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah Indonesia mampu mencapai angka tersebut dengan waktu yang tersisa?
Harap-harap cemas itu pasti, mengingat masih ada beberapa persoalan di lapangan yang menghambat penurunan angka stunting.
Baca Juga : Dibalik Lambannya Penurunan Angka Stunting Tanah Air
Dalam wawancara yang dilakukan readtimes.id bersama pakar dan pihak pemerintah, setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi penghambat penurunan angka stunting. Pertama letak geografis, kedua sumber daya, dan ketiga pendataan.
Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan kesulitan akses yang berbeda-beda. Angka stunting di daerah masih tinggi karena banyak wilayah terpencil yang sulit diakses para tenaga kesehatan.
Kedua, sumber daya. Hal ini tidak hanya berbicara tentang tenaga kesehatan atau ahli gizi saja yang masih terbatas di daerah-daerah, melainkan juga peralatan para tenaga kesehatan tersebut ketika di lapangan.
Di Sulawesi Selatan misalnya, dalam mengukur atau menimbang berat badan balita, para petugas posyandu tidak sedikit yang masih menggunakan dacin atau meteran yang biasanya digunakan oleh para tukang jahit karena keterbatasan antropometri.
Hal ini membuat para petugas tidak bisa mendapatkan data yang akurat tentang kondisi para balita di posyandu karena alat ukur yang mereka gunakan tidak sesuai dengan standar.
Ketiga terkait pendataan. Menurut Guru Besar Ilmu Gizi Universitas Hasanuddin Prof Veni Hadju, pengukuran dengan alat ukur yang tidak terstandarisasi serta input data yang masih dilakukan para petugas puskesmas yang jumlahnya terbatas dan belum lagi memiliki beban tugas lain membuat data rawan terjadi kesalahan.
Oleh karenanya masih dibutuhkan sebuah regulasi khusus dari pemerintah agar input data ke sistem ini menjadi lebih baik. Karena basis data yang baik akan mengantar kita pada basis kebijakan yang baik pula.
Stunting: Bukan Hanya Tentang Kesehatan
Dibalik harap-harap cemas mewujudkan stunting 14,0 pada 2024, sebagai masyarakat tentu kita perlu mengapresiasi pemerintah yang telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepat Penurunan Stunting. Dari sini masyarakat bisa mengetahui betapa gentingnya persoalan kekurangan gizi ini untuk segera diatasi.
Dari wawancara readtimes.id bersama Ahli Gizi di HealthifyMe Indonesia, Rosi Putriana, mendapati bahwa stunting tak hanya berdampak pada gangguan pertumbuhan secara fisik saja, melainkan perkembangan otak, kecerdasan, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Risiko jangka panjang yang dialami oleh para penderita adalah penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, serta memiliki kekebalan tubuh yang lemah.
Baca Juga : Kenali Penyebab dan Risiko Stunting
Hal ini tentu menjadi salah satu tantangan besar bagi Indonesia yang tengah mempersiapkan Generasi Emas Indonesia 2045. Sebuah era yang dimana Indonesia diharapkan dapat dipenuhi dengan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, berkualitas dan memiliki karakter.
Selain tentang kualitas SDM, stunting juga tentang ekonomi Indonesia. Dampak stunting yang masif di suatu negara nyatanya juga mampu berdampak pada produk domestik bruto (PDB).
Hal itu bahkan telah disinggung oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun lalu.
Dalam kesempatan tersebut dia menyebutkan bahwa sekitar 2-3 persen produk domestik bruto hilang per tahun akibat stunting. Dengan jumlah PDB Indonesia tahun 2020 sekitar Rp15 ribu triliun, potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp450 triliun per tahun.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sebastian Mary, peneliti dari Universitas DePaul Chicago pada 2018 yang menyebut bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan turunnya PDB.
Komitmen dan Aksi Bersama
Kompleksnya dampak stunting pada berbagai sektor membuat penanganannya pun harus multisektor.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 seharusnya tidak hanya berhenti pada lahirnya komitmen bersama baik pemerintah pusat, daerah, maupun swasta untuk bersatu padu menekan angka stunting. Melainkan turun dalam bentuk aksi nyata untuk menyentuh pokok permasalahan, khususnya di daerah-daerah yang hingga 2022 ini prevalensinya masih di atas angka nasional seperti Sulawesi Selatan..
Berdasarkan data yang dihimpun readtimes.id dari Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, angka stunting di Sulsel berdasarkan Hasil Studi SSGI pada 2022 hanya turun di angka 27,2 persen dari 27,4 persen pada 2021. Sementara untuk pengukuran menggunakan data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) dari 9,08 persen turun menjadi 8,61 persen.
Jika dilihat tentu ini masih jauh dari target nasional bahkan dari target Sulawesi Selatan sendiri yang sejak 2021 lalu telah mematok stunting turun di angka 24,59 persen.
Jika sudah seperti ini, evaluasi besar-besaran tentu patut dilakukan. Dari integrasi hingga konvergensi sumber daya masing-masing sektor, termasuk sumber anggaran yang masih menjadi persoalan di lapangan.
Wawancara readtimes.id bersama Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel Andi Nurseha mendapati bahwa persoalan anggaran juga masih menjadi salah satu sumber penghambat di daerah dalam program penurunan stunting.
Menurutnya, tidak semua program dan rancangan anggaran yang masing-masing diusulkan oleh daerah dapat kemudian terpenuhi karena banyaknya program yang jalan. Hal ini semakin bertambah parah ketika anggaran kesehatan di beberapa daerah memang pada dasarnya kecil.
Selama ini untuk menutupi itu semua menurutnya pemerintah daerah Sulawesi Selatan telah bekerja sama dengan pihak swasta. Dalam hal ini dukungan pihak swasta tidak selamanya dalam bentuk uang melainkan fasilitas yang lain.
Kendati demikian, sekali lagi program maupun kuatnya komitmen itu hanya dapat diakui keberhasilannya ketika target di lapangan berhasil dicapai. Bila tidak, tentu ini mengindikasikan ada program yang tidak berjalan tepat sasaran atau bahkan ada anggaran yang terbuang percuma yang bisa menjadi temuan di kemudian hari.
Kita tentu tidak berharap celah korupsi yang ditemukan oleh Komisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada program penurunan stunting di daerah itu benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab di kondisi genting seperti ini.
Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi Niken Ariati pada 25 Januari lalu dimana bertepatan dengan Rakornas BKKBN di Jakarta. Setidaknya terdapat tiga aspek yang berpeluang rawan terjadinya praktik korupsi dalam program penurunan prevalensi stunting. Ketiga aspek tersebut adalah anggaran, pengadaan, dan pengawasan.
Baca Juga: KPK Sebut Dana Penurunan Stunting Daerah Rawan Dikorupsi
Pada aspek penganggaran misalnya ditemukan adanya indikasi tumpang tindih penganggaran antara pemerintah pusat dengan daerah. Terdapat beberapa program yang tidak memiliki kebutuhan objek yang sejatinya tidak diperlukan dalam program tersebut.
Selain itu belum adanya pengawasan khusus terkait pelaksanaan program tersebut juga berpeluang untuk membuat celah adanya tindak pidana korupsi.
Menuntaskan persoalan stunting sekali lagi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun bukan lantas kita menyerah pada keadaan. Untuk sampai di 14,0 persen pada 2024 nanti, Indonesia tidak hanya butuh sekedar pendeklarasian komitmen maupun program bersama, melainkan sebuah terobosan.
Baca Juga : Menanti Inovasi Baru untuk Penurunan Stunting di Sulsel
Editor : Ramdha Mawaddha
39 Komentar