RT - readtimes.id

Catatan Berharga Pengelana Tiongkok tentang Nusantara

Judul                       : Melayap ke Nusantara, Catatan Perjalanan Seorang Pengelana Tiongkok pada Akhir Abad ke-18

Penulis                   : Ong Tae Hae

Penerbit                 : Sinar Hidoep               

Tahun                     : Januari 2022

Tebal                      : lv + 148 halaman

Jauh di masa lalu, saat teknologi informasi belumlah secanggih saat ini, tak ada cara lain untuk mencari kabar kehidupan orang lain kecuali dengan melakukan perjalanan. Kisah-kisah tentang tanah asing dan bangsanya yang juga asing hanya bisa disampaikan oleh mereka yang baru saja pulang dari perjalanan. Sebab itulah, para pejalan atau pengelana yang menuliskan kisah perjalanannya selalu dihormati di tengah-tengah masyarakatnya.

Sebagian besar catatan tradisional kita di Nusantara berupa catatan perjalanan. Desawarnana atau yang sohor disebut dengan Kitab Negarakrtagama masa Majapahit sesungguhnya adalah kisah perjalanan Raja Majapahit berkunjung dari desa ke desa. Epos Sureq Gagaligo Bugis juga ada berkisah tentang Sawerigading yang melayari laut ke negeri China untuk mencari We Cudaiq. Dan masih banyak lagi.

Kisah kita di masa lalu juga sebagian bersumber dari para pengelana, khususnya pengelana asing yang datang ke nusantara. Jauh sebelum Eropa datang, tradisi bangsa lain sudah melakukan pencatatan atas kehidupan kita di masa lalu. Salah satu sumber yang berharga sebelum memasuki abad kedatangan Eropa pada abad ke-16 adalah yang dicatat oleh orang-orang China. Tradisi kekaisaran China yang mencatat perihal interaksi mereka dengan bangsa-bangsa di luar wilayah mereka, termasuk nusantara, sangat berharga.

Tradisi mencatat oleh bangsa China masih terus berlangsung meski Eropa mulai melakukan usaha kolonial di nusantara. Namun, sayangnya, pamor catatan mereka tenggelam oleh catatan bangsa Eropa yang—harus diakui—lebih terperinci dan kronologis. Beruntung sekali, catatan seorang pengelana Tiongkok bernama Ong Tae Hae, kini diterbitkan dan diterjemahkan dengan sangat bagus dengan judul sampul: “Melayap ke Nusantara, Catatan Perjalanan Seorang Pengelana Tiongkok pada Akhir Abad ke-18.”   

Ong Tae Hae berkunjung ke nusantara pada 1783. Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di tanah Jawa. Ia berkunjung ke Batavia yang saat itu sudah jadi daerah kekuasaan Belanda, lalu ke Semarang, Pekalongan, dan Banten. Ia jelas seorang terpelajar, karena dalam pengantarnya, ia dengan sadar hendak mencatat apa-apa saja yang ia temui dalam perjalanannya. Ia mencatat banyak hal yang ia jumpai dalam masa kunjungannya ke nusantara, mulai dari adat dan kebiasaan orang-orang di satu daerah sampai karakter flora dan fauna daerah tersebut.

Namun ia tetap menulis perihal bangsa lain di luar daerah Jawa—seperti orang Bugis di Sulawesi dan Ambon di Maluku sampai Bima di Sumbawa—melalui cerita-cerita orang-orang lain yang pernah berkunjung ke tempat itu.

Jika kita memahami betapa informasi tentang bangsa-bangsa lain begitu langka dan berharga pada masa lalu, kita akan menyadari apa yang ditulis Ong Tae Hae dalam buku ini sangat bermanfaat sebagai dokumentasi. Bahkan, segala macam bias dan penilaian baik-buruk si penulis sendiri terhadap bangsa yang ia kunjungi merupakan informasi tersendiri yang mengungkapkan fakta bahwa seorang pengelana pun cenderung membawa sudut pandang dari wilayah asalnya.

Nuansa kebanggaan Ong Tae Hae pada bangsanya sendiri yakni Tiongkok sangat terasa. Ia dengan gamblang memberikan penilaian pada budaya dan karakter orang-orang nusantara dengan kaca mata dan cara pandang orang Tionghoa. Misalnya, dalam satu catatan dia mengatakan orang Belanda itu tamak dan angkuh serta tidak mengenal lima kebaikan sebagaimana yang dimiliki orang-orang China. “Yang kuat menindas yang lemah, angkuh dan tamak, sehingga mereka tidak mempunyai kebajikan,” begitu Ong Tae Hae menilai orang-orang Belanda.

Penilainnya pun pada pribumi cenderung buruk dan tidak simpatik. Ia menilai buruk orang Papua, orang Jawa, dan bangsa-bangsa lain. Ia menganggapnya masih belum beradab atau disebutnya barbar. “Penduduk pribumi dikenal sopan dan sederhana, namun mereka bodoh dan membosankan. Secara alamiah mereka berjiwa lembek dan penakut, terutama kepada orang-orang Belanda,” (hlm25), begitu tulisnya.

Tapi Ong Tae Hae menyebut beberapa bangsa di luar pulau Jawa tidak menunjukkan rasa takut kepada Belanda, dan punya jiwa pemberani. Misalnya, ia menyatakan secara tidak langsung rasa kagumnya kepada orang Bugis. Orang Bugis yang menjadi pelayan dalam pelayaran dikenal sangat berani menghadapi bajak laut. Mereka memang sangat membenci bajak laut, dan berani berperang dengan mereka.

Buku kecil ini berisi tujuh bagian: bagian pertama memberikan gambaran berbagai tempat dan kebiasaan masyarakat di tanah Jawa kepada kita—Batavia, Semarang, Pekalongan, dan Banten. Bagian kedua, berisi kisah-kisah orang-orang terkemuka Tiongkok di Nusantara. Bagian ketiga menghamparkan kita secara sekilas gambaran-gambaran bangsa-bangsa lain, mulai dari orang Eropa—Inggris, Prancis, Inggris—sampai orang Asia Tenggara dan nusantara sendiri. Masuk kepada bagian keempat kita disuguhkan dengan fenomena alam seperti iklim dan cuaca yang penulis temui selama dalam perjalanan.

Bagian kelima Ong Tae Hae mengudarkan persoalan-persoalan seperti teknologi serupa Kompas, lonceng penanda waktu, rakit bambu, dan sebagainya. Berikutnya dalam bagian keenam, kita diajak menjelajahi buah-buahan dan bebungaan di nusantara, mulai dari bunga mawar, manga, tebu, dan sebagainya. Bagian terakhir, berupa tambahan sekilas beberapa hal yang sudah pernah disinggung pada bagian-bagian sebelumnya.

Dalam enam bagian itu informasi-informasi penting tentang karakter masyarakat nusantara sangat berharga untuk dibaca. Memang ada bagian-bagian yang tidak akurat dan dilebih-lebihkan dan cenderung berbau mitos, namun selebihnya catatan Ong Tae Hae ini menyuratkan kepada kita bahwa tradisi menulis catatan perjalanan Tionghoa memang tidak kalah dibanding catatan orang Eropa.

Dan kita, yang tinggal di abad teknologi yang terus dimutakhirkan ini, sejatinya perlu mempelajari bagaimana informasi di masa lalu dicari dan dicatat. Orang di masa lalu tidak memencet tombol layar google untuk mencari tahu kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Tapi, dengan penuh keberanian mengumpulkan tekad menghadapi bahaya di perjalanan, mereka bertualan dan mengumpulkan informasi serta menyebarkannya ke banyak penjuru.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: