Judul : Melawan Nafsu Merusak Bumi
Penulis: AS Rosyid
Penerbit: EA Books
Tahun: Juni 2022
Tebal: xvi + 139 halaman
Nampaknya sulit menemukan suara atau gugatan atas perusakan lingkungan hidup dengan tendensi religius. Agama cenderung berdiri di wilayah periferi saat menyatakan sikap terhadap alam yang semakin rusak. Agama seakan-akan tidak berada di jantung permasalahan atawa tidak menjadi arus utama. Paling banter, misalnya dalam doktrin Islam, umat Islam kebanyakan hanya akan mengutip dalil kitab suci Al Qur’an yang menyatakan bahwa kerusakan di bumi akibat tangan-tangan manusia.
Apakah memang Islam tidak memiliki doktrin yang tegas dan bersifat memberi tekanan pada tugas umatnya menjaga lingkungan? Pertanyaan mendasar ini yang coba diulik oleh AS Rosyid dalam buku teranyarnya, “Melawan Nafsu Merusak Bumi, Prinsip Etika Lingkungan Hidup Islami”. Dalam seratusan halaman bukunya ini, penulisnya berupaya keras menggali kembali doktrin Islam yang terabaikan terkait nilai menjaga lingkungan, serta memberi perspektif lain terhadap dalil-dalil keagamaan yang selama ini kadung dipandang seragam oleh umat Islam.
“Saya sadar bahwa Islam sesungguhnya merupakan agama hijau, agama yang sebadan dengan lingkungan hidup. “Bagus bumi, bagus iman. Buruk bumi, buruk iman””.(hlm 39). Begitu bunyi parafrase penulis. Keyakinan itu kemudian menuntun AS Rosyid merangkum sekian banyak referensi untuk diperiksa dan dimaknai kembali.
Ini adalah sebuah esai panjang yang memadukan narasi a la aktivis dengan ketekunan intelektual yang berdedikasi. Nuansa gugatan dan kegeraman penulis pada elit (politik dan agama), korporat, atau pada sistem yang merusak bumi sangat terasa tapi terkontrol tanpa terjerumus pada gaya barbarisme. Untuk itu, buku ini menawarkan sekaligus mengajak kita memiliki perspektif keislaman yang baru dalam menganalisa fenomena lingkungan hidup; dan juga strategi-strategi paling mungkin yang bisa kita terapkan dalam kehidupan keberagamaan kita sehari-hari.
Buku ini berisikan tiga bab. Bab 1 memiliki tujuh bagian yang mencoba menghamparkan kita pada pandangan al-Qur’an dan hadits terkait lingkungan hidup. Pandangan atau khazanah teks-teks suci ini diletakkan dalam tiga model atau penulis menyebutnya langgam: habituasi, struktural, dan etik. Habituasi adalah langgam yang berurusan dengan kebiasaan interaksi timbal-balik manusia dengan alam. Struktural bersinggungan dengan aturan atau kebijakan pembangunan yang bakal berdampak pada lingkungan. Dan etik adalah laku intelektual yang mencoba menata ulang kesadaran manusia terhadap alam.
Di dalam bab 2 penulis mencoba mengelaborasi tujuh kata kunci yang berupaya memberi bukti jika Islam adalah agama yang sepenuhnya berwawasan ekologis: al-ardu masjidun (bumi sebagai masjid); al-ardu ummukum (bumi sebagai ibu); Ja’ilun fi al-ardi khalifah (depolitisasi khalifah); bakkah (kota eko-spritual); masyrab (distribusi sumber energi); qurban (etika hewani Islam); dan yaum al-din (hukum perubahan).
Jika di bab 1 penulis menyajikan kita berbagai khazanah Islam tentang lingkungan hidup, di dalam bab 2 pembaca mulai dihamparkan analisa penulis terkait tujuh kata kunci yang telah disebutkan. Di bagian inilah penulis mulai menggelar usahanya meredefinisi dan memaknai ulang beberapa konsep penting yang telanjur (nampak) dipatok palu pengertiannya. Misalnya, penulis mempertanyakan kembali tentang arti khalifah yang cenderung politis, dengan mengeksplorasi berbagai definisi yang ditelurkan oleh berbagai ilmuwan Islam sebelumnya. Sang penulis akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa pengertian khalifah adalah ‘pemelihara’. Dan ini memiliki nuansa ekologis yang tebal.
Pada bab 3 penulis menyediakan kita seperangkat alat praktis agar kita memiliki prinsip etis dalam menjaga lingkungan hidup. Namun demikian, dalam menyajikan alat praktis tersebut, penulis tetap melalui jalur mempertanyakan dan memaknai kembali konsep-konsep dalam doktrin Islam yang kadung diterima banyak orang. Penulis mengetengahkan soal kemungkinan Islam menerapkan gaya hidup vegan yang tentu saja akan membawa benturan pada konsep konsumsi daging pada Hari Raya Qurban atau idul adha. Penulis juga membuka ruang diskusi tentang kemungkinan Islam menerapkan nilai dalam pilihan orang yang tak ingin memiliki anak atau istilah sohornya: childfree. Dan terakhir di bab ini pula ada upaya penulis mengajak orang memikirkan kembali tentang kenajisan hewan bernama anjing.
Usaha-usaha ini sekilas akan nampak penulis seperti meniti tepian jurang. Jika salah melangkah, penulis akan jatuh pada jurang kegenitan menafsir, sekadar mencari sensasi, dan hanya ingin nampak berbeda. Rupanya, penulis sendiri menyadari benar hal ini: “Selama menulis bab ini saya berusaha keras menghindari cocoklogi, sejak pemilihan kata kunci sampai elaborasinya.” (hlm 82). Sehingga, jika kita baca secara seksama, penulis nampak sangat berhati-hati ketika mencoba menghadirkan atau mempertanyakan konsep-konsep Islam yang dipercayai umum tadi.
Niat baik penulis adalah mengajak umat Islam merasa lebih peduli pada persoalan lingkungan hidup. Dan ajakan itu dibarengi dengan upaya perubahan paradigma. Dan untuk mengubah paradigma, memang tak bisa tidak kita harus punya kesadaran kritis pada perubahan yang terjadi. Generasi nabi Muhammad tentu berbeda dengan generasi sekarang; persoalan yang dihadapi kian kompleks—termasuk dalam soal kerusakan lingkungan hidup.
“Umat tidak perlu dan tidak boleh mengubah syariat; syariat harus dibiarkan ajeg sesuai ketetapan hukum-hukum fikih yang ada.Namun, Umat perlu belajar menemukan nilai-nilai ekosentris dari syariat itu. Umat harus sering mendengar refleksi ekologis sehingga kesadaran ekologis perlahan tumbuh.” Demikian bunyi kutipan di sampul belakang buku. Dan kita perlu setuju dengan pernyataan tersebut.
Tambahkan Komentar