RT - readtimes.id

Puri Pictordu: Dunia Peri dan Perjalanan Keluarga Tuan Plochardet

 Judul                 : Puri Pictordu

Penulis             : George Sand

Penerbit          : moooi

Tahun               : Desember 2021

Tebal                 : 136 halaman

Tidaklah mudah mengkategorikan buku tipis ini, “Puri Pictordu”. Tentang dunia anak lengkap dengan imajinasi liarnya, memang benar; tentang drama keluarga, juga benar adanya; gambaran kehidupan masyarakat kelas menengah atau golongan kaya raya Prancis, betul juga; perkembangan dunia seni beberapa generasi, juga betul. Kita akan membaca ragam tema tersebut dalam satu tarikan napas, dalam satu kali duduk.

Puspa ragam tema tersebut disulam dengan narasi bak mendongeng dan nyaris didaktik. Naratornya memahami persoalan dan sekali-kali menarik kesimpulan dan menanamkan makna cerita kepada kita. Saya pikir, ini novel yang akan mampu membawa pembacanya ke dalam ketenangan dan kelembutan alur atau plot ceritanya. Barangkali ini karena diterjemahkan dengan apik oleh Reinitha Amalia Lasmana, penerjemah karya sastra, langsung dari bahasa aslinya: Prancis.

Alur atau plot novel yang ditulis oleh George Sand ini sederhana belaka: kisah kehidupan keluarga Plochardet, pelukis sohor pada masanya di Prancis. Dengan mata kamera yang fokus pada karakter anak perempuan Plochardet, Diane, cerita mengalir mengikuti perkembangan karakter si Diane dari ia berumur delapan tahun hingga ia menikah pada usia 25 tahun.

Dalam alur yang sederhana ini, konflik dimunculkan: ketidakserasian antara Diane dengan ibu tirinya, Nyonya Laure. Ketidakserasian ini terus berlangsung hingga ujung novel. Konflik ini, jika kita analisis, merupakan cermin karakter kelas atau status sosial pada masa itu. Nyonya Laure ini sebetulnya berasal dari keluarga miskin yang lantas beruntung karena kecantikannya bisa menjadi istri seorang seniman kaya raya. Di sepanjang novel, Nyonya Laure ini tidak pernah menjadi pelindung anak tirinya, dan terus-terusan bersikap pragmatis—tercermin ketika suaminya jatuh miskin ia malah pulang ke rumah keluarganya, namun kembali lagi ketika suaminya mulai agak membaik secara ekonomi.

Ada tokoh lain di sekeliling Si Diane: Dokter Feron, yang jadi sahabat ayahnya dan juga sekaligus dekat dengan Diane. Dengan Dokter Feron-lah si Diane bisa mencurahkan isi pikirannya dan imajinasi liarnya. Diane, yang di akhir-akhir cerita menjadi pelukis terkenal yang berbeda genre dengan ayahnya, kerap mendapatkan ilmu atau teori seni dari Dokter Feron. Dokter ini nantinya akan menyelamatkan keluarga Diane—terkhusus ayahnya yang jatuh miskin—dari kebangkrutan. Dan malah, begitu mencintai dan menyayangi Diane, Dokter Feron diam-diam membuat surat wasiat warisan atas nama Diane. Diane sendiri akan menikah dengan keponakan si dokter.

Lalu kenapa novel ini berjudul Puri Pictordu? Karena nyaris seluruh perkembangan karakter Diane kecil hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh satu peristiwa pada satu malam di Puri Pictordu ini. Puri tua yang tinggal reruntuhan ini sebetulnya milik seorang kaya raya yang kemudian jatuh bangkrut. Dipercaya oleh banyak orang puri ini sebetulnya dihuni oleh seorang perempuan berkerudung.

Bermula dari perjalanan Tuan Plochardet ke pedesaan untuk membawa Diane yang saat itu berumur delapan tahun yang sedang mengalami demam. Perjalanan itu terhambat oleh jalanan yang rusak, sehingga mereka terpaksa menginap di peri tua tersebut, Puri Pictordu. Diane kemudian dibangunkan oleh perempuan berkerudung yang misterius itu. Dia diajak jalan-jalan melihat kemegahan puri tersebut, hutan dan taman. Diane terkesima dengan penampilan si perempuan berkerudung yang dianggapnya sangat anggun.

Peristiwa itu hanya mengambil sekian halaman saja dari novel ini, tapi akan sering disinggung dalam beberapa bagian dari 10 bagian novel. Ayah Diane atau Tuan Plochardet tidak percaya dengan cerita-cerita yang dianggapnya takhayul. Sebab itulah Diane lebih nyaman dan leluasa bercerita kepada Dokter Feron. Dokter Feron menganggap bahwa kisah Diane itu adalah fenomena demam dalam imajinasi seorang anak yang amat peka terhadap keindahan. Dokter Feron pernah membatin seperti ini, “Kita seringkali kurang menyadari bahwa kita bersalah terhadap anak-anak dengan mengejek minat mereka dengan mengejek minat mereka, dan bahwa kita dapat membawa keburukan bagi mereka dengan mengekang bakat mereka.” (hlm 56).

Dan terbukti, hubungan ideal dan baik dengan Dokter Feron membuat Diane berkembang dengan menjadi pelukis yang melampaui kemampuan ayahnya. Ayah Diane atau Tuan Plocharted awalnya mengejek minat Diane dengan mengatakan seperti ini, “Tidak, tidak! Bersenang-senanglah, lakukan yang kau mau, impikanlah yang mustahil, itulah kebahagiaan masa muda. Di kemudian hari, kau akan tahu bahwa bakat tak akan menyelamatkanmu dari nasib dan kesialan.” (hlm 85). Namun, perlahan-lahan, Tuan Plocharted memahami bakat yang dimiliki anaknya, Diane.

Novel ini selesai ditulis oleh George Sand (nama pena dari nama asli: Amantine Lucile Aurore Dupin), sastrawan perempuan legendaris Prancis, pada 1 Februari 1873. Jika melihat angka tahunnya, berarti novel ini adalah karya sastra paruh kedua abad 19. Barangkali novel ini hendak menangkap semangat zaman pada masa itu, bagaimana seni romantik itu berkembang, dan seperti apa kondisi kelas menengah yang terjadi.

Novel ini ditutup dengan narasi yang agak didaktik: Diane menjadi perempuan kaya raya namun bahagia. Diane membuka sanggar seni dan mengajarkan seni kepada masyarakat tidak mampu. Dia juga memaafkan ibu tirinya dan menyayanginya. Diane yang akhirnya menikah dengan keponakan Doterk Feron bisa berpelesir ke tempat-tempat indah bersama suaminya, mengunjungi sahabat dan keluarga mereka.  

Narator menutup novel seperti ini: manusia memang berbeda-beda sifat, dan dari luar akan tampah bahwa yang picik hati dapat hidup dari memanfaatkan yang besar hati. Namun sesungguhnya, orang yang memberi dan memaafkan akan menikmati kesenangan tertinggi, karena merekalah yang disukai oleh para makhluk halus dan para peri, jiwa-jiwa yang sepenuhnya merdeka dalam cara pandang, yang menjauhi manusia-manusia yang sibuk memikirkan diri sendiri, tidak menampakkan wujud kecuali kepada mereka yang matanya terbuka lebar oleh antusiasime dan pengabdian.”  

Jabal Rachmat Hidayatullah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: