RT - readtimes.id

Sastra dan Sains: Perjalanannya dari Eropa Hingga Madilog Tan Malaka

Readtimes.id– “Sastra itu adalah story telling. Sedangkan sains itu cabang dari sastra. Kenapa? Karena sains itu adalah story telling tentang semesta, tentang benda-benda.”

Itu penjelasan Nirwan Ahmad Arsuka pada kesempatan diskusi di Perpustakaan Teman Baca Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Nirwan Ahmad Arsuka adalah budayawan dan penulis yang sekarang lebih dikenal sebagai pendiri Pustaka Bergerak, jejaring gerakan literasi yang tersebar di hampir seluruh nusantara.

Saya pikir pernyataan di atas tegas dan provokatif. Barangkali Nirwan hendak ‘mengganggu’ kepercayaan umum yang cenderung memahami sains dan sastra sebagai dua hal yang secara hirarkis berbeda—sains itu ilmiah dan lebih mulia, sedangkan sastra hanya permainan imajinasi sebab itu berada di bawah sains.

Lebih jauhnya, sains dipercaya berada pada ruang di menara tinggi, sedangkan sastra hanya kerja yang fokus pada dunia fiksional. Pada masa kini, dua wilayah ini secara kasar kadang dibedakan pada bentuknya: sains bergelut dengan penjelasan yang pasti dan terverifikasi, sedangkan sastra adalah dunia novel yang penuh dengan cerita imajinatif dan bebas bergerak di dunia antah-berantah.

Memang telah ada bukti dalam sejarah bagaimana pada abad 19 sains dan sastra seolah bertemu dan memadu kasih di Eropa. Mereka berpadu pada apa yang dinamakan science-fiction. Jika kita elaborasi bagaimana sejarahnya dan pengaruh satu sama lain, segera akan kita temukan bahwa terkadang dunia fiksi yang dianggap hanya bermain di wilayah imajinasi itu ternyata turut mendorong penemuan-penemuan penting dalam dunia teknologi.

Salah satu karya Jules Verne, penulis science-fiction, “20.000 Leagues Under the Sea” dikabarkan mengilhami penemuan kapal selam. Kita juga bisa menaruh curiga kisah-kisah science-fiction H.G. Wells yang sering mengulik tema manusia di semesta lain atau tentang bom atom juga mengilhami orang pergi ke bulan atau membuat bom atom.

Yang jelas, sains dan sastra bukanlah dua dunia yang terpisah secara hitam putih. Buktinya, filsuf dan ahli matematika, Bertrand Russel, mendapatkan Nobel Sastra pada 1950 meskipun tidapk pernah menulis novel atau cerita pendek. Bertrand Russel menulis tulisan filsafat dan matematika.

Sains dan sastra memang sempat berbulan madu di Eropa, yang didorong oleh penemuan-penemuan penting dalam dunia teknologi dan industri. Lalu bagaimana sains dan sastra ini di wilayah timur, kita batasi saja pada wilayah berpulau-pulau bernama Indonesia?

“Sebetulnya bapak sains kita itu adalah Tan Malaka ketika dia menulis Madilog pada 1943,” masih kata Nirwan Ahmad Arsuka pada kesempatan yang sama seperti dituliskan di awal tulisan ini.

Madilog, akronim dari Materialisme Dialektika dan Logika, memang adalah upaya keras dan ambisius seorang Tan Malaka dalam membuat peta pemikiran orang Indonesia serta jalan keluar dari hal-hal bersifat takhayul yang tak sesuai dengan perkembangan zaman. Buku yang ditulisnya di bawah kekuasaan Jepang dan ia harus menyamar sebagai tukang jahit agar tidak ditangkap, merupakan buku yang memadukan filsafat marxisme dengan cara pandang Tan Malaka sebagai seorang nasionalis dan seorang Indonesia.

Ada sebuah anggapan bahwa barat adalah saintifik sementara timur dipenuhi takhayul. Citra-citra yang beririsan dengan citra lain bentukan kolonial—pribumi pemalas, terbelakang, dan anti pengetahuan—semakin mengukuhkan bahwa ilmu pengetahuan mutlak milik Eropa, sementara pribumi adalah pihak yang harus diajar dan ditatar.

Padahal, pernah ada cerita seorang perdana Menteri bernama Karaeng Pattingalloang yang sekaligus jadi Raja Tallo pada abad ke-17. Pada umur 18, Pattingalloang sudah meminta Inggris untuk mengirimkan temuan terbaru teknologi perkapalan mereka. Dia juga pernah memesan bola dunia dari Belanda yang kemudian tiba di Makassar pada 1648. Bahkan, ia dikirim bola dunia buatan Joan Blaeu yang sohor itu pada 1651.

Pattingalloang sangat masyhur pada kalangan ilmuwan Eropa. Ia menjadi bukti dan cermin bahwa dunia timur tidak melulu berurusan dengan yang takhayul dalam kaca mata orang Eropa, namun juga bisa sangat mencintai dunia ilmu pengetahuan modern atau dunia sains secara khusus.

Kembali kepada hubungan sains dan sastra yang diulik tulisan ini. Perpaduan dua ini rupanya bisa membantu kita memahami dunia realitas yang kita hidupi. Meminjam penjelasan Okky Madasari, sastrawan Indonesia, “sastra membantu kita membaca gambaran besar dari kompleksitas, sehingga kita bertanya, berpikir kritis, dan berusaha melahirkan kreativitas dan inovasi untuk dapat mengatasinya. Sastra memberi arah ke mana sains menuju.”

Itu memang kondisi yang kedengaran ideal dan manis. Namun sayangnya, dua dunia ini masih dilihat dan diperlakukan secara diskriminatif. Sehingga sangat sedikit ilmuwan kita yang membaca sastra. Padahal, jika mengutip Pramoedya Ananta Toer, sastrawan sohor yang pernah dimiliki Indonesia itu,“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Dedy Ahmad Hermansyah

39 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: