Readtimes.id– Hingga saat ini masih marak terjadi pembungkaman kebebasan berpendapat oleh birokrasi kampus yang membatasi kebebasan berekspresi dan kritik. Terkhusus di kalangan civitas akademika yang menunjukkan bahwa kampus yang ada di Indonesia belum sepenuhnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Ini merupakan sebuah problematika yang harus dituntaskan karena seharusnya pendidikan tinggi harus menjadi tempat yang ideal untuk kebebasan akademik, berekspresi dan berpendapat.
Menurut beberapa pengamat, masih banyak kasus penindasan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pelanggaran dapat berupa ancaman, nilai buruk, ajakan paksa, hingga pembunuhan.
Seperti kita ketahui, pers mahasiswa merupakan saluran untuk mengkritisi dan berpendapat dengan para birokrat kampus. Pers mahasiswa terkenal karena jangkauannya yang luas, mampu menulis tentang topik dan isu yang tidak diliput oleh pers umum. Hal ini penting karena dalam demokrasi dan keterbukaan informasi, kampus dibiayai oleh masyarakat dan aktivitasnya harus terus dipantau.
Selain itu, evaluasi jurusan itu sendiri merupakan bagian dari kebebasan akademik. Dalam konteks ini, pers mahasiswa bukanlah humas atau kepanjangan tangan birokrat kampus. Pers mahasiswa bekerja berdasarkan prinsip pers yang ideal, berdasarkan unsur-unsur dan kode etik jurnalistik.
Menurut saya, lembaga pers mahasiswa di Indonesia merupakan sebuah entitas yang sangat penting dalam membentuk karakter serta kualitas mahasiswa sebagai pemimpin masa depan. Melalui kegiatan jurnalistik yang dilakukan, seperti wawancara, liputan editorial dan peliputan berita mahasiswa, dapat menularkan berbagai perspektif dan informasi penting.
Adanya budaya paternalistik
Karena budaya sistem pendidikan Indonesia yang sangat paternalistik, rasio antara dosen dan mahasiswa tidak seimbang. Para birokrat melihat pers mahasiswa hanya sebagai sekelompok mahasiswa yang tidak memenuhi syarat yang baru belajar menulis laporan. Selain itu, pers mahasiswa mendapat fasilitas dan dana dari kampus. Perspektif ini sering kali mengakibatkan kampus menindas pers mahasiswa ketika hasil liputannya tidak sejalan dengan misi birokrat.
Budaya paternalistik ini juga berujung pada penindasan sikap kritis terhadap struktur dan otoritas yang lebih tinggi, seperti mahasiswa terhadap fakultas atau fakultas terhadap pejabat kampus.
Alih-alih membebaskan civitas akademika dan membekali mereka dengan sarana berpikir kritis, sistem pendidikan tinggi justru melanggengkan praktik ini. Pada kenyataannya, hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam berbagai kegiatan demokrasi yang melibatkan
mahasiswa.
Para birokrat kampus membungkus berbagai larangan berdemokrasi dengan bahasa yang santun dan normatif. Misalnya ajakan untuk fokus pada pembelajaran di kelas, mengikuti seminar atau acara keagamaan, atau meningkatkan prestasi akademik dan non akademik mahasiswa.
Sering juga terdengar bahwa mahasiswa “tidak harus mengikuti kegiatan demonstrasi karena, uangnya masih minta ke orang tuanya” atau ungkapan “masuk universitas untuk belajar, bukan untuk protes”. Kisah ini menunjukkan bahwa ciri struktur kelas sosial kolonialisme yang menindas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan progresif masih mengakar.
Tergambarkan dari sistem pengajaran yang juga menunjukkan ada beberapa dosen cenderung otoriter dan semena-mena dalam berargumentasi dan berbuat tidak menggunakan Etika demokrasi dalam kelas. Ini membuktikan betapa mudahnya relasi feodal kuno dalam pengajaran di kelas, dalam relasi dosen dan mahasiswa serta dalam birokrasi tergambar atas nama “kepemimpinan” kampus dan “nama baik”.
Kemunduran demokrasi memang bisa dimulai dari birokrat kampus yang tidak mau kewenangan dan kekuasaannya dikompromikan. Kebebasan akademik merupakan bagian dari hak asasi manusia, yaitu kebebasan berekspresi dan berpikir. Oleh karena itu, pers mahasiswa pada dasarnya harus meningkatkan kualitas pemberitaannya. Karena jika ada kontradiksi dan pengaruh, dari subjek materi pesan, terlepas dari apakah itu produk jurnalistik atau bukan.
Skeptisisme terhadap kebebasan berpendapat
Beberapa orang berpendapat bahwa pers mahasiswa seringkali terjebak dalam sudut pandang yang tidak adil dan bias, terutama ketika mereka terafiliasi dengan kelompok atau organisasi tertentu.
Mereka berpendapat bahwa argumen yang terdapat di pers mahasiswa dapat menjadi semu, dimanipulasi oleh kepentingan kelompok tertentu, daripada mencerminkan realita yang sebenarnya.
Selain itu, beberapa orang juga meragukan kemampuan dan profesionalisme dari jurnalis mahasiswa. Mengingat mereka masih dalam tahap pembelajaran, beberapa di antara mereka mungkin kurang berpengalaman dalam melaporkan berita dengan objektivitas dan keakuratan. Ini dapat menyebabkan informasi yang tidak akurat atau penafsiran yang keliru dalam laporan pers mahasiswa, sehingga menghasilkan gambaran yang jauh dari realita.
Pentingnya meningkatkan relationship digital
Pers atau public relations merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk menjalin hubungan baik dengan publiknya. Dalam era digital, menjaga nyala pers atau reputation management tidak lagi hanya dilakukan secara konvensional, namun juga melalui relationship digital.
Relationship digital adalah hubungan yang terjadi antara organisasi dengan publiknya melalui media sosial dan kanal-kanal digital lainnya. Dalam menjaga nyala pers melalui relationship digital beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
Pertama, membuat konten yang relevan dan sejalan dengan nilai-nilai organisasi. Konten yang dibuat harus dapat memberikan nilai tambah bagi publik dan tetap sejalan dengan visi dan misi organisasi.
Kedua, merespon komentar dan masukan publik dengan cepat dan tepat. Hal ini akan membuat publik merasa dihargai dan membuka ruang untuk dialog yang lebih baik.
Ketiga, menggunakan alat digital seperti analitik media sosial untuk memantau sentimen publik terhadap organisasi. Hal ini akan memberikan gambaran tentang efektivitas kampanye digital dan membantu dalam mengambil keputusan yang tepat.
Keempat, menjaga konsistensi dan integritas dalam setiap aktivitas online. Organisasi harus tetap mematuhi nilai-nilai yang telah diusung dan tidak melakukan tindakan yang merusak citra organisasi.
Dengan menjaga nyala pers melalui relationship digital yang baik, sebuah organisasi dapat memperkuat kepercayaan dan loyalitas publik terhadap mereknya. Namun demikian dibutuhkan juga perencanaan dan strategi yang tepat dalam menjalankan aktivitas relasi digital agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Sehingga, jika masih ada tindakan larangan dalam berekspresi di kalangan civitas akademika, maka temen-temen jurnalis pers jangan pernah takut untuk berani menegakkan keadilan. Karena, dalam konsep hak asasi manusia (HAM), jurnalis atau pers ini adalah ujung tombak dalam pemajuan dan penegakan HAM. Semua orang yang terlibat dalam pembelaan pemajuan hak asasi manusia dia bisa disebut sebagai pembela HAM.
Editor : Ramdha Mawadda
Penulis : Moh. Hairud Tijani (Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
38 Komentar