Judul: Kumpulan Dongeng
Pengarang: Hans Cristian Andersen
Penerjemah: Nurul Hanafi
Penerbit: Kakatua
Tahun: 2019
Halaman: vi + 196 halaman
Dongeng yang baik, barangkali, adalah yang mampu melewati masa demi masa, tempat demi tempat, hingga jauh melampaui umur penulisnya sendiri—atau bahkan kisah dalam dongeng itu sendiri lebih dikenal dari nama si penulisnya. Dongeng seperti itu bukan hanya menghibur, namun kaya akan puspa ragam nilai serta dapat ditinjau dari berbagai perspektif—moral, sosial, hingga politik.
Di antara kriteria seperti itu, Hans Christian Andersen menjadi salah satu nominator andal. Bagaimana tidak, setelah dia meninggal pada 1875 dongeng-dongengnya terus dicetak, diadaptasi, diceritakan, dialihwahanakan ke media teater dan film. Mungkin di belahan dunia Eropa atau Amerika namanya terkenal. Tapi di luar itu, termasuk di Indonesia, namanya tergolong tidak begitu dikenal.
Nyaris mustahil bagi kita untuk tidak mengetahui kisah The Little Mermaid atau putri duyung yang jatuh cinta pada seorang pangeran yang sudah difilmkan itu, atau tentang si itik buruk rupa, dan sebagainya. Sebagian besar orang mungkin tak mengetahui jika kisah-kisah itu lahir dari tangan seorang Andersen.
Maka dari itu, membaca langsung sumber kisah-kisah itu akan membawa kita pada pengalaman penting dan berharga. Percayalah—tanpa maksud tak mengapresiasi hasil alih wahana dari cerita-cerita itu—ada banyak sekali nuansa yang membawa kita pada perenungan mendalam saat membaca cerita-cerita asli dongeng itu. Malah cerita dapat berbelok kita difilmkan: dalam film Putri Duyung, ceritanya berakhir bahagia. Tapi dari dongeng aslinya, justru berakhir menyedihkan.
Beruntunglah kita di Indonesia, ada penerbit yang punya komitmen untuk menerjemahkan fabel-fabel atau dongeng-dongeng dari seluruh dunia, yang lestari melewati abad-abad demi abad. Nama penerbit itu adalah Kakatua, yang juga menerbitkan “Kumpulan Dongeng” karya Hans Christian Andersen. Buku berisi 16 dongeng Andersen ini diterjemahkan dengan lembut dan lincah.
Baik, mari kita ulik hal-hal menarik yang ada dalam kumpulan dongeng ini. Setidaknya ada tiga karakter yang bisa segera kita temukan: keajaiban tokoh-tokoh utamanya; nuansa surreal di mana hal-hal abstrak dipersonifikasi; dan kekayaan nilai moral bahkan politik. Mari kita bahas satu persatu.
Setiap tokoh utama dalam dongeng ini mempunyai keajaiban tersendiri baik secara sengaja atau tidak sengaja. Seperti dalam cerita Kisah Seorang Ibu, Ibu yang tak rela anaknya diambil oleh Maut, akhirnya mencari Maut dengan menanyai hal-hal yang ada di sekitarnya, mengikuti perintah dan melewati rintangan yang unik. Sesampai di rumah Maut, Ibu dan Maut berseteru, berbincang tentang kehidupan, kehendak Tuhan, dan istana yang tak dikenal. Hingga Ibu dengan berat hati mengikhlaskan Maut mengambil anaknya. Keajaiban sengaja menghampiri Maut. Dan cerita Si Burung Bulbul yang punya suara sangat indah sampai-sampai kaisar kerajaan mencari dan merawat burung itu, saking indahnya sampai dibuat tiruan agar suara burung tetap berada dalam istana. Hingga suatu saat burung tiruan itu rusak, dan si kaisar jatuh sakit. Burung Bulbul menghibur kaisar dengan suaranya yang merdu, membuat kaisar sembuh seutuhnya. Keajaiban tidak sengaja Burung Bulbul yang menyembuhkan si kaisar.
Bisa dibilang selalu ada keajaiban atau solusi dalam setiap masalah dengan cara yang unik, memberikan kesan akhir cerita yang menyenangkan. Tapi ada juga dongeng Hans Cristian Andersen yang menyedihkan seperti dalam cerita Si Putri Duyung, Gadis Penjual Korek Api, Sang Malaikat, Anak Kecil di Kuburan. Keharuan tentang melepaskan impian yang terasa mencekam, adanya sindiran kemanusiaan dari realitas, cerita sarkas lembut dibalut dengan keajaiban yang menajubkan.
Menariknya, terdapat visualisasi mengenai hal-hal yang dalam realitas tidak ada, namun ada dalam dongeng-dongeng ini. Seperti Maut yang digambarkan sosok tinggi dan gelap, Puisi yang digambarkan sosok perempuan bercahaya, dan Angin yang digambarkan sosok manusia beraneka ragam bergantung pada jenisnya. Beberapa kali kata Tuhan ditemukan dalam kumpulan dongeng ini. Tokoh dalam cerita memanggil dan berdoa pada Tuhan. Hal itu membuat adanya kesan religi sebagaimana ketika mendengar atau membaca cerita dari agama-agama yang menyejukkan hati.
Lalu pesan moral bahkan politik akan kita temukan misalnya pada dua cerita: Si Burung Bulbul, dan Pakaian Baru sang Kaisar. Pada kisah pertama—si Burung Bulbul—kita akan dibawa masuk pada nilai kesetiaan dan pentingnya bagi penguasa untuk mendengar bukan hanya berita bahagia dari luar istana, namun perlu juga meresapi kisah sedih orang-orang di luar pagar istananya.
Kisah Si Burung Bulbul ini sederhana belaka: seorang raja yang merasa terhibur setiap kali si burung bulbul bernyanyi di sisi ranjanganya. Namun kemudian dibuatlah burung bulbul tiruan yang bisa bernyanyi namun ternyata suara itu berasal dari mesin pemutar musik. Masalah mulai muncul kotak musik itu mulai aus dan suaranya tidak merdu lagi. Di situlah si burung bulbul asli datang dan menghibur sekaligus menghindari si raja dari kematiannya.
“Aku akan bernyanyi tentang mereka yang bahagia dan tentang mereka yang menderita. Akan akan bernyanyi tentang kebaikan dan kejahatan yang tersebumbunyi dari pengetahuan paduka! Aku akan terbang jauh ke rumah para nelayan, ke atap rumah orang miskin, ke mana pun yang jauh dari paduka dan istana ini.” Kata si burung bulbul kepada raja.
Kisah Pakaian Baru Kaisar menggambarkan satu humor gelap yang satir. Betapa kekuasaan dapat mengaburkan kebenaran dan menghilangkan akal sehat pejabat. Dikisahkan seorang raja yang didatangi oleh dua penipu yang mengaku dapat menenun pakaian paling indah untuk raja. Konon, pakaian indah itu tak bisa terlihat oleh orang yang tidak layak menduduki sebuah jabatan atau orang-orang bodoh (hlm 82).
Karena gengsi dan tak ingin disebut bodoh dan tak menduduki sebuah jabatan, satu lingkungan pejabat ramai-ramai mengakui bahwa raja telah mengenakan pakaian paling indah saat kirab dilangsungkan. Hanya seorang anak kecil yang berani dan lugu mengatakan, “Tapi sang kaisar tak mengenakan apapun.” (hlm 90).
Sayangnya secara keseluruhan kumpulan dongeng ini mempunyai sususan cerita yang kurang mengenakkan, di antara dongeng-dongeng sedih ada yang bahagia, begitu juga sebaliknya. Susunan menjadi terasa mengganjal seperti kerikil tajam yang terinjak di jalanan.
Dongeng-dongeng ini dibuat Hans Cristian Andersen bertahun-tahun yang lalu, masih sangat bisa dinikmati dan relate dengan kehidupan masa kini. Manusia dengan segala keinginan, impian dan masalah tak ada habis-habisnya, membuat dongeng-dongengnya bisa dibaca semua usia pada semua zaman.
517 Komentar