Readtimes.id – Sriwijaya Air mampu mewarnai dunia penerbangan Indonesia sejak mendapatkan penghargaan Boeing International Award for Safety and Maintenance of Aircraft pada 2007.
Maskapai yang mengudara pertama kali pada 10 November 2003, ini awalnya hanya memiliki satu armada jenis Boeing 737-200. Lama kelamaan, pesawat yang dimiliki pun bertambah jadi 15 unit dengan masih tipe Boeing.
Sriwijaya Air pada akhir tahun 2003 menjual tiket Jakarta-Pangkal Pinang seharga Rp 175.000 untuk penerbangan selama 1 jam 15 menit. Sementara tarif kapal cepat Rp 155.000-Rp 165.000 untuk 10 jam pelayaran. Warga Bangka jelas memilih terbang untuk mencapai Jakarta.
Sriwijaya Air, yang berdasarkan akta didirikan empat orang, yakni Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim, kemudian mulai diakui orang. Sebagian orang lainnya juga mulai mencari tahu tentang Chandra Lie, yang tidak terlalu dikenal di dunia penerbangan.
Lie bersaudara berasal dari Pangkal Pinang, Pulau Bangka. Masa silam, Pulau Bangka adalah wilayah dari Sriwijaya. Berlatar belakang pebisnis garmen, Chandra Lie mengawali bisnis penerbangannya dengan hanya berbekal satu unit Boeing 737-200. Lama kelamaan, pesawat yang dimiliki pun bertambah jadi 15 unit dengan masih tipe Boeing.
Sriwijaya Air boleh jadi merupakan berkah dari deregulasi industri penerbangan. Hal ini tidak lepas dari UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Deregulasi penerbangan itu memungkinkan siapa pun bisa mendirikan maskapai penerbangan dengan hanya dua atau bahkan satu unit pesawat.
Penambahan pesawat dan juga rute dilakukan seiring pendapatan yang terus bertambah. Sebelum Sriwijaya Air mengangkasa, telah ada Lion Air (1999), Indonesia Airasia (1999), dan Citilink Indonesia (2001). Ketika Sriwijaya Air mengudara pada tahun 2003, juga mengudara armada Wings Abadi Airlines (2003) dan XpressAir (2003).
Sementara Cardig Air dan Susi Air menyusul pada tahun 2004 serta ikut mengangkasa Transnusa Aviantion Mandiri pada 2005.
Selanjutnya Sriwijaya Air kemudian terus berekspansi dan akhirnya mendarat di Solo, Itu kabar baik saat itu, sebab tadinya masyarakat Solo Raya hanya dilayani Garuda Indonesia dan Lion Air yang membuka rute Solo-Jakarta.
Maharani, yang saat itu menjadi District Manager Sriwijaya Air Wilayah Semarang yang membawahi wilayah Solo mengungkapkan, ”Businessman dari Jakarta ke Solo dapat terlayani, begitu pula sebaliknya.”
Sriwijaya Air bahkan punya strategi terbang dari Jakarta pada pukul 08.00, lebih pagi daripada Garuda Indonesia dan Lioan Air. Juga telah mengoperasikan 27 unit pesawat dengan mengangkut 7,12 juta orang pada tahun 2010. Serta menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Boeing 737-800 NG, yang juga digunakan Garuda Indonesia.
Sriwijaya Air menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik Indonesia di bawah Lion Air, Garuda Indonesia, dan Batavia Air. Dua tahun kemudian, Sriwijaya Air menyalip Batavia Air sehingga menempati posisi ketiga.
”Penambahan 20 unit Embraer dari Brasil. Pesawat Embraer ini setipe dengan Bombardier yang didatangkan Garuda. Pesawat baru pada Sriwijaya Air ini juga merupakan jawaban atas tawaran menarik yang dilontarkan Direktorat Angkutan Udara Kementerian Perhubungan untuk ambil bagian dalam penyediaan 4.000 kursi ke Australia pada tahun 2011,” kata Direktur Utama Sriwijaya Air Chandra Lie, Dilansir dari Kompas.id pada Senin (11/1/2020).
Tahun 2013, Sriwijaya Air berhasil mendirikan maskapai pengumpan yang diberi nama NAM Air. Hingga 2 tahun kemudian, maskapai mengantongi sertifikasi keselamatan penerbangan dari Flight Safety Foundation yang berbasis di Amerika Serikat.
Tahun 2016, Sriwijaya Air makin tak terbendung. Chan Chandra Lie menargetkan tahun itu sebagai tahun pertumbuhan. Armada Sriwijaya Air telah diperkuat dengan 47 unit pesawat. ”Saat ini harga avtur sedang rendah, membuat biaya operasional kami tak terlalu besar. Apalagi pesawat yang dimiliki adalah pesawat milik sehingga tidak ada beban cicilan kredit,” ujar Chandra, Selasa (28/6/2016).
Untuk mendorong pertumbuhan, Chandra memberikan modal rugi untuk membuka rute-rute baru yang belum pernah diterbangi maskapai lain. ”Tentu ada perhitungan bisnis sampai berapa jauh bisa merugi untuk rute baru. Kalau pasarnya belum terbentuk, pasti rugi,” katanya.
Namun, moncernya bisnis Sriwijaya Air tak bisa bertahan lama. Masalah keuangan datang dan membuat manajemen harus memutar otak agar tetap bisa menjalankan bisnisnya sampai saat ini.
Belum selesai masalah keuangan, kini Sriwijaya Air tertimpa musibah. Pesawat Sriwijaya pada Sabtu kemarin. Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak tersebut diperkirakan jatuh di sekitar Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.
Pesawat jenis Boeing Co 737-500 itu mengangkut sebanyak 62 orang, terdiri dari 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak, dan 12 kru pesawat.
Industri penerbangan belum sepenuhnya pulih bahkan hingga awal 2021. Satu per satu pesawat kemudian mulai lepas landas meski dibayangi kabar lonjakan kasus positif Covid-19. Sejak Covid-19 menerjang Indonesia pada Maret 2020.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan maskapai di seluruh dunia berguguran, diantaranya Garuda Indonesia, flag carrier Indonesia, pun tidak luput dari kesulitan, apalagi maskapai-maskapai swasta nasional.
Kesulitan serupa terdengar dari maskapai-maskapai di seluruh dunia. Dengan ketidakpastian itu, salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffett, pada Mei 2020 memilih cut loss, melepas seluruh kepemilikannya pada empat maskapai Amerika. Buffett melihat suramnya bisnis penerbangan setidaknya dalam jangka pendek.
Pendiri Sriwijaya Air, Chandra Lie dan Hendry Lie, memilih nama Sriwijaya bukan tidak sengaja. Mereka ingin maskapai itu dapat mengekor kebesaran kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu.
1 Komentar