Judul : Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal
Penulis : Ronny Agustinus
Penerbit : Tanda Baca
Tahun : Juni 2021
Tebal : x + 168 halaman
Amerika Latin, dalam esai-esai Ronny Agustinus, adalah lanskap asing sekaligus ajaib. Amerika Latin adalah tempat di mana imajinasi bisa sama nyatanya dengan realitas, inspirasi perubahan sosial bisa digerakkan oleh sastra, dan secarik kain perca dapat dijadikan alat perlawanan menuntut rezim militer. Dan seabreg hal asing dan ajaib lainnya, semuanya mungkin terjadi di Amerika Latin.
Daerah yang terletak di bagian selatan Amerika Serikat itu tiba kepada kita di Indonesia melalui karya-karya sastra pengarang besarnya—Gabriel Garcia Marquez, Pablo Neruda, Borges, Isabel Allende, dll—kisah kepahlawanan Che Guevara, revolusi sukses Hugo Chavez, dan sebagainya. Membaca kenyataan Amerika Latin seperti mengikuti kisah sastra agung yang berisi perjuangan manusia mendirikan martabatnya.
Begitulah, Ronny Agustinus—sang penerjemah karya-karya khususnya sastra Amerika Latin langsung dari bahasa Spanyol ke bahasa Indonesia itu—menghantarkan kepada kita semesta Amerika Latin dalam ragam aspek, politik, sosial, ekonomi, hingga sastra. Ronny dengan gaya santai mengulik karya-karya sastra hebat Amerika Latin, kisah-kisah menarik di seputar para penulisnya, skandal intelijen yang berusaha memanfaatkan para sastrawan, hingga kisah-kisah revolusi yang mengharukan sekaligus menawarkan imajinasi perlawanan baru.
Enam belas esai dalam buku ini dibagi ke dalam tiga bagian dengan judul berbeda: bagian pertama berjudul, “Macondo”, bagian kedua berjudul “Para Raksasa”, dan bagian ketiga berjudul “Dan Lain-Lain Hal”. Sehingga jika disambung ketiga judul bagian-bagian itu menjadi, “Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal”—inilah yang lantas menjadi sampul buku.
Bagian pertama esai-esai Ronny berkutat pada wacana kesusastraan secara umum. Seperti gerakan Elboom, sebuah gerakan dalam pengkaryaan fiksi di Amerika Latin, yang merujuk pada fenomena meningkatnya penerbitan dan pembacaan atas karya Amerika Latin oleh publik, termasuk publik di luar batas daerahnya sendiri. Ronny menunjukkan kepada kita perkembangan dari era Elboom ini hingga setelahnya. Di dalam tulisan terakhir Ronny mengisahkan tentang satu majalah sastra bernama Mundo Nuevo, yang terkenal dengan fenomena yang dikaitkan dengan kerja intelijen.
Bagian kedua, sebagaimana dapat kita terka dari judulnya, “Para Raksasa”, memang berkisah tentang raksasa-raksasa dunia kepenulisan sastra Amerika Latin. Mulai dari sosok yang mempelopori gerakan sastra El boom, upaya mengenang Gabriel Garcia Marquez, hingga konflik atau permusuhan di antara para penulis sendiri.
Sementara itu, bagian ketiga menyorot dunia yang sedikit keluar dari area dunia kepenulisan namun tetap punya benang merah dengan dunia sastra. Ada kisah tentang Hugo Chavez yang melakukan revolusi di Venezuela dengan menarik inspirasi dari Simon Bolivar sang pejuang Venezuela. Ada juga kisah perlawanan masyarakat adat Zapatista yang dipimpin oleh ‘pahlawan bertopeng’, Subcomandante Marcos dengan konsep perjuangan yang menawarkan pola baru gerakan kiri.
Dan tak lupa pula ada kisah yang akan membuat haru-biru para pembaca: ibu-ibu di Chile, yang anak dan suaminya hilang saat gelombang penentangan rezim militer Augusto Pinochet pada September 1973. Augusto Pinochet dengan didukung oleh CIA Amerika Serikat telah menumbangkan rezim demokratis Chile yang dipimpin oleh Salvador Allende.
Para ibu ini lantas berkumpul dan mengorganisir diri, saling berbagi cerita tentang anak dan suami mereka yang dihilangkan paksa. Mereka menyulam di atas secarik kain bernama arpillera, yang secara harfiah berarti ‘kain goni’. Di atas kain perca inilah mereka menggambar tentang kesaksian mereka tentang anak dan suami yang diculik di depan mereka sendiri, dan lantas tak pernah kembali. Oleh sebuah organisasi, hasil sulaman kaum ibu-ibu ini lantas dijual untuk menghidupi mereka secara ekonomi.
Tentu ini akan mengingatkan kita kepada peristiwa 1998, masa jatuhnya rezim Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun, di mana peristiwa-peristiwa sebelumnya telah mengakibatkan banyak orang diculik, ditembak, dan dihilangkan paksa. Bahkan, lebih jauh lagi akan mengingatkan kita pada peristiwa kelam lainnya dalam kehidupan bangsa kita sendiri yakni peristiwa 1965. Orang-orang yang dituduh komunis ditangkap, dibunuh, dan tak pernah jelas di mana kuburnya.
Sampai saat ini ibu-ibu—atau keluarga lainnya—para korban penculikan dan penghilangan paksa anak bangsa di bawah rezim militer Soeharto masih terus berdiri di depan istana Jakarta, menuntut keadilan. Mereka berdiri setiap Kamis di bawah payung hitam. Ada yang bercerita bahwa hingga saat ini mereka masih berharap anak mereka akan kembali pulang, masuk ke dapur, dan makan makanan yang mereka masak.
Meski aksi yang lantas disebut aksi Kamisan itu inspirasinya dari aksi di Argentina—masih di Amerika Latin, dan tidak diceritakan di dalam esai-esai Ronny Agustinus—namun apa yang dialami oleh ibu-ibu yang berdiri di depan istana Jakarta dengan ibu-ibu yang merajut kisah kehilangan mereka di atas kain perca tentulah sama: kehilangan dan harapan anak-anak atau suami mereka akan kembali.
Begitulah, Ronny Agustinus memang berupaya menarik benang peristiwa yang ada di Amerika Latin dengan yang terjadi di Indonesia sendiri. Dia melakukannya dalam hampir semua esainya. Sehingga kita dapat lebih memahami apa yang sedang dia jelaskan kepada kita.
119 Komentar