Gelanggang pilkada Wajo di depan mata. Beberapa nama digadang-gadang akan berlaga. Sang petahana Amran Mahmud, legislator DPRD Sulsel Andi Tenri Liweng, Asisten III Setda Maros Andi Rosman, dan Ketua Golkar Wajo dr.Baso Rahmanuddin. Nama mereka sudah mengisi ruang percakapan publik sejak tahun lalu, seiring intensitas mereka melakukan sosialisasi dan kunjungan ke masyarakat.
Keikutsertaan kerabat mereka pada pileg yang lalu dianggap laga pembuka. Amran Mahmud mendorong putranya, Achmad Muflih melalui PAN dalam perebutan kursi DPRD Provinsi Dapil 8 Sulsel yang meliputi Kabupaten Wajo dan Soppeng. Andi Ayoga Fadel Akbar, putra Andi Tenri Liweng juga bertanding dalam arena yang sama melalui PKB. Begitu pula Andi Ukmah Anas, isteri mantan Wakil Bupati Wajo periode 2014-2019, yang diasosiasikan dengan Andi Rosman, maju melalui Gerindra. Perolehan suara mereka akan mencerminkan pengaruh dan kekuatan masing-masing kandidat bupati di akar rumput.
Sementara kekuatan dr.Baso Rahmanuddin dapat dilihat pada perolehan suara Golkar Wajo. Raihan kursi Golkar pada DPRD Wajo akan menjadi modal politiknya.
Pendukung petahana percaya, Amran Mahmud akan kembali memenangkan pertarungan. Hal ini berangkat dari asumsi yang mereka yakini, petahana telah mengantongi kekuatan elektoral sekurang-kurangnya 30 persen. Modal lainnya, program-program yang sudah dikerjakan selama menjabat dapat menjadi jualan di masyarakat. Petahana dianggap berprestasi sehingga layak diberikan kesempatan untuk melanjutkan kepemimpinan pada periode yang kedua.
Mereka yang beroposisi dengan petahana tidak tinggal diam. Mereka aktif memberikan kritik atas program-program yang dianggap tidak berjalan dengan maksimal. Petahana dianggap gagal dalam menjalankan pemerintahan. Janji politik yang ia dengungkan pada pilkada lalu masih jauh dari kata tuntas. Kelompok masyarakat yang tidak puas menganggap kepemimpinan petahana cukup satu periode. Mereka menginginkan kebaruan dan perubahan.
Meski demikian, istilah keberlanjutan, kebaruan ataupun perubahan yang diamplifikasi oleh masing-masing pendukung kandidat, hingga saat ini belum pernah disajikan dalam satu narasi utuh. Perdebatan yang disuguhkan lebih banyak berputar pada istilah dan jargon abstrak. Bahkan perdebatan itu sering kali mengarah pada serangan personal, yang jauh dari substansi gagasan.
Mendudukkan RPJPD Sebagai Diskursus
Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Wajo tahun 2005 – 2025, telah memasuki fase akhir. Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Wajo telah merilis capaian RPJPD pada Juli 2023, yang diukur berdasarkan 36 indikator. Hasil evaluasi secara umum menunjukkan masih banyak indikator yang belum tercapai.
Misalnya, sasaran pemenuhan kebutuhan jalan dan jembatan dalam kapasitas dan kualitas baik, yang menjangkau seluruh pelosok wilayah. Sasaran ini diukur berdasarkan porsi panjang jalan dengan kualitas baik. Tahun 2020 – 2022 pemerintah menargetkan persentase porsi panjang jalan dengan kualitas baik sebesar 80%. Namun yang terealisasi hanya 50%.
Contoh lainnya ialah sasaran terwujudnya pola hidup sehat dalam masyarakat dan terpenuhinya pelayanan kesehatan berkualitas dan terjangkau. Sasaran ini merupakan penjabaran dari target pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang diukur berdasarkan angka harapan hidup (usia). Hingga tahun 2022 pemerintah menargetkan angka harapan hidup 75 tahun. Namun hasil evaluasi menunjukkan angka harapan hidup masih di kisaran 67 tahun.
Menurut pemerintah, tidak tercapainya sasaran di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Masih adanya angka kematian bayi, perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) di lingkungan keluarga belum optimal, fasilitas kesehatan dan kualitas SDM kesehatan yang belum sesuai standar.
Sementara dalam naskah kajian ilmiah RPJPD tahun 2025-2045, deretan persoalan sudah menanti. Rendahnya pendapatan masyarakat, angka kemiskinan dan ketimpangan yang masih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan masih rendahnya kualitas manusia. Rendahnya kualitas lingkungan hidup, belum optimalnya tata kelola pemerintahan, belum optimalnya penurunan emisi gas rumah kaca, rendahnya stabilitas dan ketentraman umum, serta rendahnya pengelolaan pariwisata.
Sayangnya hal di atas luput dari perhatian publik. Aktor-aktor politik lokal yang selama ini bertindak sebagai corong wacana juga tidak mengamplifikasi topik ini ke masyarakat. Mereka lebih memilih mendistribusikan opini yang lebih banyak menguraikan personalitas kandidat, alih-alih gagasannya. Masyarakat digiring untuk meyakini, seolah keramahan dan kedermawanan kandidat sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan.
Padahal pilkada yang akan datang mestinya menjadi momentum refleksi bagi seluruh pihak, khususnya pihak yang akan berkontestasi. Hasil evaluasi atas RPJPD dapat dijadikan muatan kampanye. Capaian-capaian pemerintah diuji secara kritis. Publik difasilitasi untuk memahami arah dan capaian-capaian pembangunan. Dengan ini perdebatan publik dapat mengarah pada diskursus politik yang lebih menyehatkan demokrasi.
Sebuah Refleksi
Sudah hal lumrah, petahana akan selalu mendendangkan narasi keberlanjutan sembari menjual program-program yang sudah dikerjakan. Sedangkan penantang akan mengkritik program-program yang belum optimal, sembari berpijak pada narasi pembaharuan atau perubahan.
Namun keberlanjutan dan kebaruan perlu dilihat sebagai kompleksitas gagasan. Keberlanjutan tidak harus oleh aktor lama, dan kebaruan tidak harus dengan aktor baru. Pun arah pembangunan sudah diatur dalam RPJPD, yang menjadi rujukan dalam perumusan visi dan misi calon bupati dan calon wakil bupati.
Yang dibutuhkan publik adalah kandidat yang mampu menafsir dan menerjemahkan isi RPJPD ke dalam kebijakan yang progresif dan membawa maslahat. Bukan tafsir yang mengantarkan pada perburuan rente dan perebutan kue kekuasaan pasca pilkada.
Penulis : A.Achmad Fauzi Rafsanjani
Penulis saat ini bergiat di komunitas literasi Sekolah Rakyat.
Tambahkan Komentar