Lima tahun lalu, perjalanan perpustakaan daerah (perpusda) memasuki babak baru. Pengelolaan perpusda yang sebelumnya berada di bawah kendali Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Wajo, dilimpahkan ke Sekretariat Daerah. Dalilnya, efisiensi anggaran. Terlalu boros jika seorang kepala dinas hanya menunggu orang-orang datang membaca, kata seorang pejabat.
Sepintas alasan ini terdengar masuk akal. Lantas dimana letak masalahnya?
Pengelolaan perpusda tidak sesederhana yang dibayangkan. Perda Wajo No.3 tahun 2019 telah mengamanatkan perpusda untuk membina seluruh jenis perpustakaan yang ada di Kabupaten Wajo. Perpusda berkewajiban menggalakkan promosi kegemaran membaca, menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum sebagai pusat penelitian dan rujukan tentang kebudayaan daerah. Mengembangkan layanan perpustakaan digital, serta memberikan pelayanan perpustakaan keliling bagi wilayah yang belum memiliki perpustakaan. Perpusda juga berwenang mengalihmediakan dan mengalihbahasakan naskah klasik yang dimiliki masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan.
Sampai di sini, logika perencanaan pemerintah terkesan tumpang tindih. Pada satu sisi, perpusda diamanatkan tanggung jawab yang membutuhkan kematangan sumber daya. Sementara di sisi lain, sumber daya kelembagaannya dibonsai dan dikerdilkan.
Dari sisi teknis, peleburan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan ke dalam Sekretariat Daerah kurang memperhatikan kaidah regulasi. Hal ini diterangkan oleh akademisi Universitas Puangrimaggalatung (Uniprima) Miftahuddin D, Syamsiar dan Besse Herlina dalam hasil penelitian mereka tentang “Kebijakan Peleburan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Studi Kasus di Kabupaten Wajo), yang dipublikasikan pada tahun 2022. Mereka menemukan ada penggabungan urusan yang tidak serumpun dalam kebijakan itu.
Perpustakaan dan arsip yang merupakan urusan wajib, disatukan dengan kesra dan umum yang merupakan urusan penunjang. Langkah ini menyalahi pasal 40 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 mengenai perumpunan urusan pemerintahan.
Mereka juga menguraikan, penambahan sub-bagian perpustakaan pada bagian kesra, dan sub-bagian arsip pada bagian umum, menyebabkan masing-masing bagian membawahi 4 sub-bagian. Sementara pasal 74 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 mengatur setiap bagian di Sekretariat Daerah hanya boleh menaungi paling banyak 3 sub-bagian.
Dampaknya, pengelolaan perpusda di bawah Sekretariat Daerah tidak berjalan optimal. Kegiatan yang dilaksanakan terbatas pada pembinaan pustakawan sekolah.
Sementara ketika masih di bawah kendali Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, perpusda mampu menggalakkan berbagai program. Perpustakaan keliling, pembinaan terhadap perpustakaan sekolah, bedah buku, pemberian bantuan buku ke rumah tahanan, sekolah dan tempat ibadah. Lomba bercerita, lomba perpustakaan desa/kelurahan, hingga pelatihan pembuatan katalog di taman baca masyarakat.
Kinerja perpusda juga dapat dlihat dalam Laporan Penyelenggaran Pemerintah Daerah (LPPD) tahun 2022. Tidak optimalnya peningkatan indeks pendidikan, salah satunya disebabkan oleh menurunnya pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan. Bahkan nilai tingkat kegemaran membaca masyarakat dan unsur pembangunan literasi masyarakat (UPLM) yang merupakan indikator kinerja kunci hasil, hanya disajikan dengan keterangan “TDI” (tidak ditemukan informasi). Ini kembali mengonfirmasi, stake holder yang mengelola urusan ini tidak mampu menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana mestinya.
Hal lain yang patut menjadi perhatian ialah Laporan Akhir Kajian Kegemaran Membaca Masyarakat Indonesia Tahun 2023 yang dirilis Perpustakaan Nasional (Perpusnas) – RI. Kajian ini bersumber dari survey yang dilakukan oleh Perpusnas RI di tiga kabupaten/kota pada setiap provinsi. Kabupaten Wajo, Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar, mewakili Sulawesi Selatan sebagai objek kajian.
Survey tersebut menggunakan 5 indikator. Frekuensi membaca, durasi membaca, banyaknya buku yang dibaca, frekuensi mengakses internet, dan durasi mengakses internet. Hasil kajian menunjukkan Kabupaten Wajo menempati peringkat 69. Posisi ini di bawah Kabupaten Pangkep yang menempati peringkat 50 dan Kota Makassar yang menempati peringkat ke-4.
Padahal tujuh tahun silam, Wajo memperoleh Anugerah Literasi Prioritas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tercatat pada tahun 2017, Wajo menduduki peringkat 17 nasional dan peringkat ke-2 Sulsel dalam hal minat baca yang tinggi.
Suka atau tidak, fakta di atas tak dapat disangkal. Apapun dalilnya, menghapuskan Dinas Perpustakaan dan Arsip mesti diakui sebagai keputusan yang keliru. Saran dan kritik dari berbagai pihak, harusnya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk menata ulang kelembagaan perpustakaan daerah. Kecuali jika pemerintah daerah tidak melihat perpustakaan sebagai urusan yang penting, maka publik hanya perlu melapangkan dada, melihat perpustakaan daerah bergerak membelakangi garis finis.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis : A. Achmad Fauzi Rafsanjani
Bergiat di komunitas literasi Sekolah Rakyat
Tambahkan Komentar