Ini adalah obituari sekaligus perayaan kelahiran atas kepergian Joko Pinurbo. Penyair besar kita satu ini bernama lengkap Philipus Joko Pinurbo, lahir pada 11 Mei 1962 di Sukabumi, Jawa Barat, dan meninggal dunia dua pekan lalu, pada Sabtu 27 April: sehari sebelum Hari Puisi dirayakan, kurang sebulan dari Perayaan Paskah oleh umat Kristiani—agama resmi yang dianut penyair Indonesia kita satu ini.
Para pecinta sastra dari berbagai kalangan dan generasi merasa kehilangan. Ya, memang sudah sepantasnya kita merasa kehilangan. Jokpin, sebutan akrabnya, telah mewariskan kita berlaksa-laksa kutipan puisi-puisinya yang menghiasi media sosial kita. Dia membawa puisi ke dalam kesederhanaan, jauh dari kesan muram, meski tidaklah bisa disebutkan tidak serius.
Puisi-puisi Jokpin dapat dibacakan oleh generasi muda, dibedah oleh kalangan akademisi, dan jadi inspirasi banyak seniman. Jokpin menyelami realitas dengan keras, mengambil sari pati kehidupan, namun alih-alih menuliskannya dalam diksi-diksi bernuansa muram dan filosofis yang rigid, ia justru meramunya dalam nunansa humor, dialog jenaka—meski seusai membacanya pembaca dapat merasakan kesan filosofis di dalamnya.
Dia dianggap penyair Indonesia yang berhasil memecahkan kebekuan puisi Indonesia. Bagaimana tidak, puisi-puisi Indonesia yang cenderung muram dan dipenuhi abstraksi-abstraksi perasaan, menjadi ‘hidup’ dan ‘bergairah’ tepat saat Jokpin naik ke pentas sastra Indonesia.
Untuk pertama kali benda sehari-hari tumpah ruah di dalam puisi, mulai dari ranjang, kamar mandi, celana, sarung, telepon genggam, hingga barang-barang rumah tangga. Sangat jarang benda-benda itu menghiasi puisi Indonesia. Ditambah pula narasi atau pengucapan puisinya yang cenderung menggunakan bahasa sehari-hari, lengkaplah sudah puisi-puisi Jokpin mampu mengambil hati banyak kalangan pembaca.
Jokpin mulai menjadi buah bibir tatkala menerbitkan kumpulan puisi perdananya pada 1999. Judul sampulnya sangat menarik, “Celana”. Judul yang ganjil yang barangkali sekaligus menerbitkan tawa kecil dan rasa penasaran. Ada apa dengan celana? Puisi macam apa yang bisa lahir dari tema barang yang kita pakai sehari-hari ini?
Ternyata dari tema celana Jokpin membawa kita pada nuansa romantisme yang dibalut dalam cerita humor sekaligus menyentuh. Mari kita kutip potongan satu puisinya berjudul, “Celana, 1”:
Lalu ia ngacir/ tanpa celana/ dan berkelana/ mencari kubur ibunya/hanya untuk menanyakan:/”Ibu, kau simpan di mana celana lucu/yang kupakai waktu bayi dulu?//
Tentu lucu membayangkan seseorang berlari-lari kecil tanpa celana, tapi selepas nuansa jenaka itu kita dihempaskan pada perasaan sedih sekaligus tetap mengandung humor melihat seseorang pergi ke kuburan ibunya hanya untuk menanyakan kebeeradaan sebuah celana.
Begitulah, Jokpin. Sejak 1999 saat puisi perdananya terbit hingga tahun-tahun berikutnya selama menjadi penyair, rasa-rasanya Jokpin tetap konsisten dengan tema sederhana, membawa barang-barang sederhana yang akrab dalam keseharian kita, tapi tetap menyisakan perasan sedih, lucu, dan reflektif.
Puisi termutakhirnya dengan masih mengambil tema celana adalah “Celana Ibu”. Mari kita kutip potongan bagian akhir puisinya:
…..
Ketika tiga hari kemudian/ Yesus bangkit dari mati, Pagi-pagi sekali Maria datang/Ke kubur anaknya itu, membawa/celana yang dijahitnya sendiri/dan meminta Yesus mencobanya.//“Paskah?” tanya Maria./“Pas!” jawab Yesus gembira.
Susah untuk tidak tertawa lepas seusai membaca bait terakhir di atas. Namun demikian, isi puisi tersebut sendiri penuh perenungan: membayangkan Yesus hanya orang biasa, dan ibunya nampak sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana, seperti terbaca pada bait pertama puisi ini.
Namun semakin ke sini Jokpin mulai merespons persoalan konflik sosial, seperti konflik yang mengatasnamakan agama. Dia sendiri mengakui itu, sebab itulah dia membuat puisi-puisi tentang agama yang lantas dibukukan dalam kumpulan puisinya, “Perjamuan Khong Guan” yang terbit pada 2020. Jokpin merasa prihatin atas konflik sosial yang mengatasnamakan agama. Lalu dia mendengar cerita kaleng khong guan dari Gus Mus, satu penayir Indonesia yang lain, yang menyebutkan bahwa kaleng khong guan tak pernah mempermasalahkan apa agama seorang tamu, siapapun yang datang dia akan terbuka untuk disantap.
“Istilah ‘pemeluk agama’ di dalam bahasa Indonesia, bagi saya itu sangat indah. ‘Memeluk’ itu kan menunjukkan kemesraan dan kehangatan. Namun yang terjadi saat ini, seringkali orang malah ‘mambakar agama’ dan ‘memanas-manasi agama’, bukan justru ‘memeluknya dengan penuh kehangatan,” kata Jokpin suatu waktu.
“Perjamuan Kaleng Khong Guan” sungguh berbeda dengan kumpulan puisi Jokpin yang lain. Di sini dia banyak sekali menyindir perilaku sosial yang cenderung fanatik dan membabibuta dalam beragama, dan menyindir orang-orang yang melupakan tuhan dan hanya mengingat-Nya saat butuh saja.
Coba kita simak potongan puisinya:
“Tuhan, ponsel saya/rusak dibanting gempa./Nomor kontak saya hilang semua./Satu-satunya yang tersisa/ialah nomorMu.//Tuhan berkata:/Dan itulah satu-satunya nomornya yang tak pernah kau sapa.”
“Nilai-nilai religiusitas lebih banyak melatarbelakangi puisi-puisi saya dan kebanyakan sumber inspirasi saya dari Kitab Suci,” kata Jokpin dalam salah satu wawancara. Bagi Jokpin, seharusnya dalam beragama kita harus bersikap seperti kaleng khong guan. Kita tak pernah mempermasalahkan apa agama kaleng jajanan ini, meskipun dia selalu menyenangkan semua orang.
Joko Pinurbo telah meninggalkan kita semua. Kita yang barangkali akan terus berhadapan dengan masalah-masalah sosial yang dia singgung dalam puisi-puisinya, sangat rentan diadu dalam konflik agama dan identitas, dan sekelumit isu lainnya yang berpotensi meledak dalam kehidupan kita.
Kita diingatkan oleh Jokpin bahwa kita adalah makhluk lugu, suci, seperti seorang bocah yang berurusan dengan celana yang dijahit oleh ibunya. Atau dipesankan hendaknya kita seperti kaleng khong guan yang melayani semua orang dengan isian rengginangnya.
Selamat jalan sekaligus selamat milad, Jokpin. Celana dan khong guan peninggalanmu akan kami rawat sebagai pengingat!
Tambahkan Komentar