RT - readtimes.id

Diplomasi Hijau di Pasifik Selatan : Antara Komitmen Global dan Kontradiksi Domestik

Oleh: Adelita Lubis (Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas)

 Isu lingkungan masih menjadi perhatian utama bagi negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Kawasan ini diprediksi akan menjadi kawasan yang paling terdampak akibat perubahan iklim. Pemanasan global yang mengakibatkan mencairnya es di kutub dan meningkatkan debit air laut mengakibatkan sejumlah ancaman eksistensial bagi kawasan ini. Asian Development Bank (ADB) memaparkan beberapa resiko dan kerentanan negara kepulauan Pasifik terhadap perubahan iklim antara lain; naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrem, hujan yang tidak menentu, kesehatan, perikanan, cadangan air dan makanan, pemukiman masyarakat dan meningkatnya bencana alam.

Indonesia, sebagai kekuatan menengah (middle power) di Indo-Pasifik dan negara kepulauan terbesar di dunia, telah sering menyoroti keinginannya untuk memimpin agenda pembangunan berkelanjutan di Pasifik Selatan. Keinginan ini tercermin dalam sejumlah inisiatif seperti inisiatif Indonesia-Pacific Climate Resilience Initiative dan komitmen global seperti NDC (pengurangan emisi 31,89% pada 2030). Komitmen ini, selain menjadi komponen rencana kebijakan luar negeri Indonesia tetapi juga sebuah upaya agar posisi Indonesia dalam sistem internasional semakin menguat. Meskipun demikian, di sisi domestik, kebijakan dalam negeri Indonesia seringkali bertolak belakang dengan prinsip keberlanjutan yang diusung dalam tujuan SDGs.

 Sebagai akademisi yang mempelajari keterkaitan kebijakan dalam dan luar negeri suatu negara, saya melihat Indonesia seringkali menunjukkan ketidaksinkronan atas komitmen global dan kebijakan dalam negeri. Persoalan ini bukan hanya sekedar masalah teknis, melainkan persoalan struktural dalam tata kelola pembangunan nasional dan model diplomasi Indonesia.

 Sebagai contoh, tingkat deforestasi yang tinggi dan ketergantungan pada energi batubara menunjukkan meskipun Indonesia aktif dalam berbagai forum lingkungan skala global tetapi Indonesia tidak serius untuk mengatasi permasalahan tersebut secara signifikan. Jika dibiarkan, hal ini tentu saja dapat menghambat upaya Indonesia untuk membangun citra sebagai middle power yang peduli terhadap permasalahan lingkungan hidup di Pasifik Selatan. Alokasi sumber daya untuk diplomasi lingkungan yang rendah (hanya sekitar 2-3% dari total anggaran kerja sama internasional) juga menunjukkan bahwa aspek lingkungan belum menjadi prioritas bagi Indonesia meskipun narasi politik secara global menyatakan sebaliknya.

 Di sisi lain, Indonesia harus bersaing dengan kekuatan negara-negara besar seperti Cina, Australia dan Amerika Serikat di kawasan Pasifik Selatan. Kekuatan negara besar ini telah lama menggunakan pengaruh mereka dalam bentuk bantuan infrastruktur, hibah pembangunan dan aliansi militer. Tentu saja ini menempatkan Indonesia pada posisi yang tidak mudah dan semakin kompleks sebagai pemimpin kawasan Pasifik Selatan.

Kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik Selatan juga tidak sepenuhnya diterima oleh beberapa negara Pasifik Selatan yang aktif menyuarakan isu pelanggaran HAM di Papua. Upaya aktif Indonesia menginisiasi pembangunan berkelanjutan di Pasifik Selatan dianggap merupakan “agenda tersembunyi” untuk menghilangkan sentimen negara anggota Pasifik Selatan terhadap kasus Papua.

Keraguan ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebaliknya, Indonesia perlu mengevaluasi model pendekatan diplomasi yang dijalankan selama ini dengan lebih mengedepankan pada kebutuhan negara anggota Pasifik Selatan dan bukan hanya mengutamakan kepentingan nasional dalam balutan kerja sama. Jika Indonesia ingin mempertahankan posisinya sebagai middle power yang kredibel di kawasan Indo-Pasifik, maka isu keberlanjutan tidak cukup dijadikan sebagai instrumen pelengkap dalam diplomasi luar negeri. Isu lingkungan harus menjadi bagian dari kebijakan nasional yang konsisten dan bisa diuji publik. Tanpa pembaharuan substansial dalam arah kebijakan lingkungan dan pembangunan, Indonesia beresiko dipersepsikan sebagai aktor yang tidak serius, bahkan oportunis- hanya mengusung agenda hijau ketika dibutuhkan dalam forum multilateral, tapi tetap bergantung pada model pembangunan eksploitatif di dalam negeri. Konsekuensinya bukan hanya reputasional, tapi juga melemahkan posisi tawar Indonesia dalam forum internasional dan hubungan bilateral.

Secara keseluruhan, Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi middle power yang berpengaruh secara positif di kawasan Pasifik Selatan. Skala ekonomi, posisi geografis strategis, kapasitas diplomatik yang mapan, dan pengalaman pembangunan yang kompleks dapat menjadi kekuatan utama Indonesia. Namun, untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin kawasan di Pasifik Selatan, Indonesia harus menyelaraskan retorika global dengan kebijakan domestiknya.

Pertama, Indonesia perlu melakukan reformulasi ulang mengenai anggaran diplomasi lingkungan agar isu-isu perubahan iklim dan lingkungan hidup mendapat prioritas yang sepadan. Kedua, alih-alih menunjukkan komitmen melalui dokumen lingkungan setiap tahun, Indonesia perlu menunjukkan pilot project yang konkret dan relevan dengan tantangan negara-negara Pasifik. Ketiga, Indonesia perlu menerapkan asas transparansi dan keterbukaan dalam model diplomasi. Kritik yang diberikan kepada Indonesia, terutama yang datang dari negara-negara Pasifik mengenai isu Papua, seharusnya dipandang sebagai ruang perbaikan, bukan ancaman terhadap reputasi Indonesia di mata dunia internasional.

Indonesia punya peluang nyata untuk memperkuat kepemimpinan moral dan strategis di Pasifik Selatan, terutama melalui isu pembangunan berkelanjutan. Namun, reputasi itu tidak bisa dibangun hanya dari pidato di forum internasional atau dokumen kebijakan. Diperlukan konsistensi antara komitmen dan tindakan, baik di dalam maupun luar negeri. Pada akhirnya, pilihan Indonesia cukup jelas: menjadi aktor kawasan yang hadir dengan keselarasan antara narasi dan tindakan, atau membiarkan jarak antara citra dan kenyataan makin melebar. Pasifik Selatan bukanlah panggung tambahan bagi ambisi diplomatik—melainkan ujian nyata terhadap sejauh mana Indonesia memahami bahwa pengaruh tidak dibangun lewat pidato, tetapi lewat konsistensi yang diuji waktu.

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: