*resensi: Dedy Ahmad Hermansyah
Judul: Surat-Surat kepada Seorang Novelis Muda
Penulis: Mario Vargas Llosa
Penerjemah: An. Ismanto
Penerbit: Circa, Yogyakarta
Tahun Terbit: Desember, 2018
Buku teori dan teknik menulis, termasuk menulis novel, telah banyak ditulis dan relatif mudah ditemukan. Namun, buku yang menyajikan tuntunan menulis novel sekaligus motivasi menjadi novelis yang berdedikasi barangkali masih terbilang langka. Apalagi ditulis dengan gaya kreatif.
Buku “Surat-Surat kepada Seorang Novelis Muda” oleh Mario Vargas Llosa, sastrawan Peru penerima Nobel Sastra 2010 ini, termasuk ke dalam buku langka tersebut.
Buku yang dikemas dalam bentuk surat ini—ada 12 surat—menghamparkan kepada kita senarai jawaban perihal apa sejatinya visi dan misi fiksi itu, sikap atau nilai apa yang perlu dimililki seorang penulis novel, dan bagaimana novel itu sebaiknya ditulis.
Dengan demikian, selain mengudar hakikat novel/fiksi dan penulis novel, buku ini juga semacam panduan bagaimana membaca novel/fiksi dan membedah anatominya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap isi cerita. Komplit!
Fiksi: mempertanyakan dan memberontak terhadap kehidupan nyata
“Fiksi adalah dusta yang menyaput kebenaran yang teramat dalam: fiksi adalah kehidupan yang bukan kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan yang ingin dihidupi oleh laki-laki dan perempuan pada suatu masa tertentu tetapi tidak ada dan karena itu harus diciptakan.” (hlm 7).
Begitu Mario Vargas Llosa menulis. Ini nampak paradoks, fiksi yang adalah dusta justru menawarkan kebenaran yang sejati. Fiksi terpantik dari kehidupan nyata namun sekaligus bukan kehidupan itu sendiri. Fiksi yang menciptakan kehidupan sendiri membujuk orang mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Sebab itulah mengapa dalam sejarah ada sekian rezim otoriter yang gemetar ketakutan di hadapan fiksi. Inkuisisi Spanyol menyensor dengan sangat ketat karya-karya fiksi hingga melarangnya di koloni-koloni di Amerika selama tiga ratus tahun. Fiksi dikendalikan.
Mengapa bisa demikian? Ya, karena fiksi pertanyakan dan memberontak terhadap kehidupan nyata. Maka fiksi berbahaya bagi rezim. “Fiksi itu sendiri sumber ketidaknyamanan dan ketidakpuasan. “ (hlm 9).
Takdir dan visi fiksi memang seperti itu. Dengan penekanan demikian, Mario Vargas Llosa hendak menggarisbawahi apa fondasi dasar dari cara pandang yang perlu penulis fiksi atau novelis miliki. Dengan alegori yang cukup keras dan ekstrem, Mario Vargas Llosa mengatakan, menjadi novelis itu menjalani takdir menjadi hamba atau budak atas visi demikian.
Visi novelis yang seperti telah dijelaskan perlu dijelaskan sebagai prasyarat bagi novelis muda sebelum beralih ke hal-hal teknis: bagaimana menulis novel dengan baik.
Teknik Menghadirkan Daya Bujuk dalam Novel
Usai meletakkan pondasi sikap yang perlu dimiliki seorang novelis, barulah Mario Vargas Llosa memaparkan dan membedah aspek-aspek formal penulisan fiksi: ide cerita, isi dan bentuk, gaya, narator, sudut pandang, dan berbagai aspek lainnya yang disebutnya ‘daya membujuk’.
Apa itu daya membujuk? Yaitu efek yang diberikan oleh serangkaian keahlian teknis dalam aspek formal tadi, yang memberi nyawa pada cerita, menyajikan ilusi dunia yang independen dari kehidupan nyata, atau membuat pembaca mengalami dusta fiksi seolah-olah dusta itu kebenaran yang kekal. (hlm 32).
Dalam memberikan contoh detail dan teknis akan aspek daya membujuk tersebut, Mario Vargas Llosa mengutip sekian banyak karya sastra penulis legendaris dunia seperti Franz Kafka, Ernest Heminway, Gabriel Garcia Marquez, dan lain-lain. Dia membedah anatomi novel penulis-penulis sohor tersebut layaknya dokter bedah membedah mayat di hadapannya.
Ini menarik. Bagi novelis pemula yang ingin belajar dari buku ini, sebaiknya tidak menjadikan sekian banyak judul novel dan penulis besar dunia yang dihamparkan sebagai halangan memahami penjelasan (dengan asumsi ia belum membaca sebagian besar buku yang dikutip), namun jadikanlah sebagai referensi dan pintu masuk kepada karya-karya besar dunia yang berpengaruh.
Novel yang memiliki daya membujuk akan menjadikan novel itu efektif, menghanyutkan pembaca. “Novel-novel yang baik—yang besar—sebenarnya tidak pernah menceritakan apapun kepada kita, yang dilakukannya adalah membuat kita hanyut di dalamnya dan ikut merasakannya dengan kekuatan daya membujuknya.” (hlm 32).
Menulis: perihal Intuisi, Kepekaan dan sebagainya
Mario Vargas Llosa sebetulnya tidak begitu suka denganlaku mengajar cara menulis yang baik. Baginya, menulis itu perihal intuisi, kepekaan, keilahiaan, bahkan kebetulan. Dia kukuh mengatakan, tak ada yang bisa mengajari orang lain untuk berkarya. Mungkin bisa diajari membaca dan menulis.
Novelis muda harus menemukan sendiri gaya dan bentuknya, boleh belajar dari penulis yang dikagumi, namun…“cobalah sekeras-kerasnya, walaupun ini tidak cukup mudah, untuk tidak meniru gaya para novelis yang paling kau kagumi dan yan pertama kali mengajarimu untuk mencintai kesusastraan. ”
Ia kemudian menutup bukunya ini dengan satu usulan manis: “Kawanku yang baik: yang ingin kukatakan adalah bahwa kau harus melupakan apa pun yang telah kau baca dalam surat-suratku tentang structur novel ini, lalu duduk saja dan menulis.”
Dedy Ahmad Hermansyah. Peneliti lepas dan pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
3 Komentar