Oleh : Dr. Anas Iswanto Anwar (Ketua Program Studi Doktor FEB Unhas)
Istilah rent seeking pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Tullock pada 1967, kemudian dipopulerkan oleh Anne Krueger pada Juni 1974 dalam sebuah tulisan yang dimuat di American Economic Review berjudul “The Political Economy of the Rent-Seeking Society”. Rente merupakan selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” birokrasi dengan jumlah yang dibayar oleh penerima rente kepada birokrasi/pemerintah atau kepada perorangan di birokrasi.
Salah satu ciri yang menandai perekonomian Indonesia sejak dulu hingga sekarang adalah kentalnya aktifitas perburuan rente (rent seeking activities). Banyaknya area abu-abu dalam aturan dan pengurusan izin telah menimbulkan ketidakpastian berusaha. Para kapitalis yang berusaha mendekati birokrasi dengan tujuan mendapatkan keuntungan bisnis bisa disebut pemburu rente (rent seeker). Pemburu rente mencari dan berusaha mendapatkan rente dari birokrasi dengan berbagai cara, di antaranya menawarkan perlindungan, menyerahkan sumber daya yang dimiliki, atau memberikan wewenang tertentu yang diatur dan di bawah kekuasaannya. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) merupakan nafas dari aktivitas perburuan rente ini.
Sejarah perburuan rente menjadi tak terpisahkan dengan perkembangan perekonomian di Indonesia. Tampilnya pemerintahan Orde Baru semakin menyuburkan persekongkolan tersebut. Pemburu rente semakin mekar dan berada di berbagai level. Perburuan rente semakin tak terkendali karena hampir semua bisnis yang digeluti para “kroni” orde baru hasil dari perburuan rente.
Memasuki Orde Reformasi, perilaku tersebut tidak berubah. Korupsi masih merajalela, begitu pula dengan perburuan rente. Keduanya seolah sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan. Pemburu rente ini mengeruk keuntungan dari peraturan atau kebijakan yang dibuat oleh regulator. Semakin tinggi jam terbang pemburu rente, semakin tinggi pula sasarannya.
Begitulah pemburu rente bekerja. Dengan koneksi yang dimiliki, dia bisa menggertak, mengancam, tetapi juga bisa merayu dengan menjual nama petinggi demi mendapatkan jatah. Kekuasaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan dibungkus seolah-olah untuk kepentingan negara. Situasi bisnis dibiarkan tanpa kompetisi yang sehat yang akhirnya melahirkan pengusaha yang hanya bisa mengambil keuntungan jika dekat dengan kekuasaan.
Semua sektor ekonomi di negeri ini tidak ada yang terbebaskan dari praktik perburuan rente. Sudah cukup banyak Menteri, politikus, kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi berbagai kasus tersebut tidak membuat jera. Kasus-kasus baru yang modusnya hamper sama terus bermunculan.
Negara dirugikan oleh para pelaku pemburu rente. Karena, pada dasarnya mereka adalah memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki atau dimiliki kroninya untuk mengakumulasi kapital demi kemakmuran diri dan kelompoknya. Mereka selalu berbicara demi rakyat, tetapi sebetulnya justru menyengsarakan rakyat.
9 Komentar