Judul : Saga Gabai Bachan, Nenek Hebat dari Saga
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerbit : Pustaka Inspira
Tahun Terbit : Juli 2013
Tebal : 255 hlm
Akihiro selama delapan tahun di masa kecilnya hidup bersama neneknya, Osano, di Saga. Masa itu, adalah masa paling penting dalam hidupnya. Bersama neneknya ia belajar menghadapi kemiskinan dengan tawa dan canda. Tanpa beban sekali pun.
Saya tak bisa berhenti tertawa selama membaca kisah mereka berdua: Akihiro dan Osano. Ada-ada saja ulah si nenek untuk membuat mereka berdua tidak sedih menjalani hidup yang miskin. Si nenek kerap kali mengucapkan ‘filosofi-filosofi’ hidup yang kocak tapi bermakna. Dengan santai ia bilang ke cucunya, bahwa sebaiknya cucunya itu tak perlu cemas, karena mereka sudah miskin turun temurun. Jadilah orang miskin yang ceria, jangan miskin yang muram.
Kisah berawal saat Akihiro kecil dikirim ke Saga untuk tinggal bersama neneknya. Ibunya terpaksa melakukan itu sejak suaminya meninggal terkena radioaktif setelah Hiroshima dibom. Bisa dibayangkan, kehidupan akan sangat sulit di tahun-tahun pasca-perang itu. Ibu Akihiro bekerja dengan membuka bar di rumahnya. Ia harus bekerja keras berjuang memperbaiki ekonominya sendirian.
Saga adalah satu desa terpencil yang cukup jauh dari Hiroshima. Ia harus tinggal di rumah neneknya yang ia gambarkan, “rumah yang paling menyedihkan. Rumah yang sungguh merupakan penggambaran tepat gubuk bobrok beratap jerami dalam kisah rakyat Jepang…” Hari pertama Akihiro kecil langsung berhadapan dengan kerja. Ia diajak ke dapur dan disuruh menyalakan api untuk memasak nasi.
Nenek Osano sudah terbiasa kerja keras sejak kecil. Nenek Osano ini adalah nenek Akihiro dari pihak Ibu. Nenek lahir pada era Meiji (tahun 1900) dan hidup sejalan dengan perkembangan abad 20. Suaminya meninggal pada masa perang di era Showa, tahun 1942. Sepeninggal suaminya, ia bekerja menjadi tukang bersih-bersih di Universitas Saga untuk membesarkan ketujuh anaknya.
Cara nenek Osano bertahan hidup unik dan menarik. ‘Filosofi’ hidupnya penuh rasa optimis dan blak-blakan. Tak ada sikap murung, tak ada pandangan meratap dalam menghadapi hidup. Dengan caranya sendiri yang kerap mengundang tawa itu, ia mendidik Akihiro untuk selalu berusaha keras dan tak berputus-asa. “Dalam keadaan apa pun, nenek selalu ceria,” begitulah Akhiro mengenang neneknya.
Begini contoh-contoh strategi dan taktik nenek Osano bertahan hidup. Dalam hidup ini, yang paling tak bisa ditanggung-tanggung adalah persoalan makanan. Nenek Osano sangat kreatif menyangkut hal satu ini. Kebetulan di depan rumahnya ada satu sungai besar. Di sungai itu ia memasang galah panjang. Galah itu akan menjaring segala macam sayuran dan benda lainnya yang datang dari arah hulu. Dan beruntungnya, ada pasar di bagian hulu. Orang-orang pasar sering memanfaatkan sungai itu untuk membersihkan sayuran atau membuang barang jualannya yang dianggap tak layak lagi.
Nah, galah yang dipasang nenek Osano mengerjakan tugasnya. Tomat, sayur daun, dan sebagainya akan tersangkut dan diambil nenek. Semua sayur-sayuran itulah yang diolahnya di dapur untuk makan sehari-hari. Nenek berkata kepada Osano, sungai itu adalah supermarket mereka. “Malah dengan pelayanan ekstra,…. belanjaan kita langsung diantar. Tanpa biaya pula.”
Sungai, eh supermarket nenek itu benar-benar berperan penting bagi kelangsungan makannya bersama cucunya. Selain menampung sayur-sayuran, supermarket nenek juga menampung kayu bakar, sandal, apel dan sebagainya.
Awal-awal hidup bersama neneknya, Akihiro merasa sangat berat. Tapi lama-kelamaan ia jadi terbiasa, bahkan belajar banyak dari nenek untuk hidup dengan penuh kreatifitas.
Persoalan lain dalam hidup mereka adalah uang. Akihiro memang mendapatkan kiriman uang tiap bulan dari Ibunya di Hiroshima, tapi tentu saja tak cukup. Jadi jika lapar dan tak ada uang, khususnya di musim dingin yang menggigit, Akihiro akan merasa sangat tersiksa. Pernah sekali ia minta makan, tapi dijawab santai oleh neneknya, “ah, itu hanya perasaanmu saja.” Lalu ketika tetap tak bisa tertidur dan terbangun-bangun karena lapar, sang nenek akan berkata, “ah, itu hanya mimpimu saja.”
Kemiskinan hidup yang dilaluinya bersama neneknya sudah diketahui oleh masyarakat Saga. Sebab itulah di sekolahnya, dengan tanpa ia sadari, teman-temannya yang baik dan guru-gurunya yang bersahaja kerap memberinya makanan atau benda apapun yang ia butuhkan. Dari sini ia belajar dari filosofi neneknya, “kebaikan sejati dan tulus adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.”
Neneknya memang mengajarkan dia kerja keras, tapi bukan berarti neneknya tidak memperhatikan kelemahannya. Nenek Osano selalu bisa menghibur dan membesarkan hati Akihiro. Akihiro, sejalan waktu, menjadi laki-laki yang mencintai olahraga dan selalu menang di setiap perlombaan lari (olahraga lari pun ia pilih karena jadi satu-satunya olahraga yang tidak mengeluarkan uang). Tapi ia lemah dalam beberapa mata pelajaran.
Ia mengeluh dan berkata kepada neneknya bahwa ia tidak mengerti Bahasa Inggris. “Kalau begitu, kau tulis saja ‘Saya orang Jepang’.” Ia mengeluh lagi kalau ia tak suka huruf Kanji, neneknya menjawab, “Tulis saja ‘Aku hidup dengan Hiragana dan Katakana.’” Lalu ia mengeluh terakhir kali kalau ia benci Sejarah juga, neneknya berkata, “Tulis saja “Saya tidak menyukai masa lalu’!’” Dan kata-kata yang menggelitik adalah ketika cucunya belajar terlalu keras, “jangan terlalu rajin belajar. Nanti jadi kebiasaan.”
Akihiro melewatkan masa sekolahnya di Saga. Ketika akan tamat SMP, ia mendapat beasiswa karena ia membawa kebanggaan sekolah sebagai pemain sekaligus kapten baseball. Ia akan sekolah di SMA Kouryu di Hiroshima, dan itu berarti harus meninggalkan neneknya. Ini tentu kondisi yang sangat berat baginya. Ia menyayangi neneknya, dan tak tega meninggalkan neneknya sendiri. Tapi di sisi lain, ia harus memperhatikan masa depannya.
Pada akhirnya, ia memilih menerima beasiswa itu. Detik-detik perpisahan sungguh hal yang mengharukan. Neneknya, dengan cara yang berat, menyuruh cucunya segera pergi. Tak perlu terlalu memikirkan dirinya.
Begitulah, kisah kehidupan bersama nenek Osano yang menjadi titik paling penting dalam hidup Akihiro berakhir. Ia melanjutkan hidup, dan di usia ke-91 nenek Osano meninggal dunia. Akihiro mengenang neneknya, “sudah pasti hidupnya jauh dari kemewahan, tapi selalu saja entah bagaimana dia tampai sangat bersemangat dan ceria…kurasa aku belajar dari kehidupanku bersama nenek, apakah sebenarnya kebahagiaan sejati manusia itu.”
Buku kecil ini terbit pertama kali pada tahun 2001. Lalu pada tahun 2003 buku ini meledak di pasaran setelah diperkenalkan pada acara televisi yang dipandu oleh Tetsuko Kuroyanagi. Sang pemandu acara terkadang akan berkaca-kaca mendengar kisah nenek Osano. Oiya, Tetsuko Kuroyanagi sendiri adalah penulis buku terkenal: Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela. Di Indonesia, buku itu dibaca oleh banyak sekali orang.
Tambahkan Komentar