RT - readtimes.id

Ancang-ancang Transisi Energi

Readtimes.id– Kendati kesepakatan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 26) dinilai masih lemah dalam meredam krisis iklim, namun memberikan secercah  harapan bagi upaya transisi energi di Indonesia. 

Hal ini setidaknya terlihat dari permintaan Jokowi pada Pertamina dan PLN untuk segera membuat “grand design” transisi energi belum lama ini. Seperti yang terlihat pada video yang diunggah di kanal Youtube Sekretariat Presiden pada Sabtu (20/11). 

“Ini yang harus mulai disiapkan, mana yang bisa digeser ke hidro, mana yang bisa digeser ke geothermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu,” ujar Presiden dalam sebuah forum yang menghadirkan PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara. 

Saat itu Jokowi nampak memberikan banyak pertimbangan, mengingat batubara masih menjadi suplai energi terbesar di Indonesia yakni mencapai 67 persen, selebihnya fuel 15 persen dan gas 8 persen. Belum lagi pengalihan ke energi hijau ini akan berdampak pada keuntungan neraca pembayaran yang dapat mempengaruhi mata uang Indonesia. 

Selain pertemuan tersebut, sebelumnya diketahui Indonesia bersama Filipina dan Vietnam  juga telah menyetujui mekanisme inisiatif transisi energi bersama Asian Development Bank (ADB) . Inisiatif ini tak lain mencangkup kemitraan pendanaan untuk menghentikan sejak awal penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. 

Baca Juga : Presidensi G20 dan Perlunya Penekanan Masalah Iklim

Hal ini diungkapkan  oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam konferensi pers virtual seperti yang dilansir dari laman Antara pada, Senin ( 22/11). 

Menurut Fabby, dengan kerja sama tersebut ketiga negara dapat mengurangi 9 giga watt kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara lebih dini dalam waktu 10 hingga 15 tahun. 

“Ini menarik. Harapannya emisi dari kelistrikan bisa turun, tapi saat yang sama bisa menaikkan kapasitas energi baru,” terang Fabby. 

Pihaknya juga menjelaskan bahwa selama COP 26, Indonesia bersama 45 negara dan lebih dari seratus organisasi menandatangani pernyataan mengenai transisi pembangkit listrik. 

Adapun menyoal terkait sikap Indonesia yang menolak klausa kewajiban penghentian penerbitan izin baru maupun konstruksi baru PLTU berbahan bakar batubara dinilai masih masuk akal, mengingat pemerintah tidak bisa menghentikan begitu saja kontrak yang sudah berjalan dan sudah masuk dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik 2021-2030. 

“Kalau dibatalkan ada konsekuensi legal dan finansial dari pengalaman yang dulu, yang seperti ini yang ingin dihindari,” katanya.

Kendati demikian menurut Fabby pertemuan berbagai pihak dalam konferensi perubahan iklim perserikatan bangsa-bangsa ke-26 itu setidaknya memberikan dampak positif bagi  upaya transisi energi di Indonesia.

Baca Juga : Pajak Karbon Solusi Tekan Emisi ?

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: