Readtimes.id– Saya merasa diri saya bukanlah jenis orang yang memberhalakan buku dalam artian fisik—bagaimanapun, substansi literasi bisa disampaikan lewat puspa ragam bentuk atau media mengikuti perkembangan zaman. Tapi entah kenapa, saya tetap merasa sentimentil jika menyangkut benda berkertas lentur dengan aroma khas itu. Dan saat ini saya sudah dalam tahap memikirkan hal ini.
Mengapa bisa demikian?
Ada emosi yang terjalin antara saya dengan buku yang terbentuk bertahun-tahun lamanya. Jalinan yang membuat saya menjadi seperti saat ini: berusaha tetap belajar, berusaha tidak puas diri, berusaha menghargai perbedaan, berusaha tetap terbuka dengan berbagai kemungkinan perubahan dalam hidup. Dengan buku, saya belajar senantiasa dinamis dan fleksibel, bukan kaku dan fanatik.
Namun, perubahan teknologi informasi datang menggempur. Setidaknya satu dasawarsa ini perubahannya begitu intens terasa. Media sosial seumpama dunia baru yang begitu menggoda tapi kita tak sepenuhnya tahu apa yang ada di sana. Kita gamang dan kadang liar. Buktinya, masalah mulai datang: orang-orang bertengkar dan berujung saling lapor di pengadilan, informasi bagai serigala berbulu domba yang membunuh diri kita sendiri, salah dan benar begitu tipis, dan sebagainya.
Awalnya saya menyambut datangnya modernitas ini dengan suka cita. Saya merasa bakal ada hal positif dalam dunia literasi. Orang-orang akan memiliki ruang jembar untuk menggeluti dunia teks (di luar audio dan visual) yang menyajikan mereka cerita dari berbagai penjuru dunia, yang pada gilirannya akan membuat mereka semakin dewasa. Rupanya harapan itu jauh panggang dari api.
Dari sanalah saya mulai melakukan refleksi: media sosial tidak menyediakan ruang bagi banyak orang untuk berhenti sejenak, menghembus dan menarik napas, lalu mulai memikirkan endapan-endapan pemikiran dalam suasana hening. Atau barangkali ruang itu ada, namun kita tak memanfaatkannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah kualitas bermedia sosial kita masih sangat rendah.
Lalu di mana ruang refleksi itu nyata tersedia? Buku. Ya, buku menyediakan kita ruang untuk berhenti sejenak, menghembus dan menarik napas, lalu mulai memikirkan endapan-endapan pemikiran dalam suasana hening. Buku mengajak kita keluar dari keriuhan suara-suara yang tidak kita perlukan. Buku mengajarkan kita memahami dan mengembangkan daya pikir kita sendiri dengan lebih efektif. Buku mengajarkan kita untuk senantiasa mengendalikan diri sebelum kita benar-benar memahami sesuatu dengan baik.
Saya tidak dalam posisi menghadap-hadapkan buku secara konfliktual dengan teknologi informasi yang mutakhir saat ini. Pada prinsipnya, saya melihat keduanya hanya media yang bisa kita pakai dan akses untuk menyampaikan dan mendapatkan pesan. Namun rupanya, media beririsan dengan efektifitas mendapatkan dan memahami pesan itu sendiri. Dan dalam konteks kita di Indonesia saat ini, saya masih merasa buku masih lebih efektif dalam mengajak orang mendapatkan substansi literasi yang diharapkan.
Tapi interaksi orang-orang sudah kadung tenggelam ke dalam hiruk-pikuk dunia media sosial. Ia telah menjadi candu, atau kebutuhan. Memang kita bisa mengajak orang-orang menggunakan media sosial dengan bijak, atau istilahnya literasi digital. Namun, dunia buku, saya rasa, masih jadi ruang efektif agar orang menjadi lebih bijak. Pembaca boleh tidak setuju dengan pendapat ini, tapi inilah yang saya rasakan.
Ada satu film di masa remaja saya yang saya tonton dan sudah lupa judulnya, yang menggambarkan tentang seorang laki-laki menyusuri mesin waktu lalu terdampar pada satu masa di mana orang-orang tidak lagi memanfaatkan potensi otak atau kapasitas berpikirnya. Jika kita ke rumah sakit, sudah ada mesin yang mendiagnosa penyakit kita. Jika kita ingin mengetahui sesuatu, ada sistem yang menyajikan informasi tentang itu. Teknologi mesin telah ‘memperbudak’ orang-orang.
Ketika si laki-laki yang terdampar di masa kacau itu berhasil kembali ke dunianya kembali, dia mengatakan sesuatu yang kurang lebih: “lewati hari-harimu dengan bangun pagi, membaca buku, atau melukis. Dengan begitulah kita bisa mempertahankan kapasitas diri kita sebagai manusia.”
Mungkin terdengar konvensional dan ‘kuno’, tapi aktifitas sederhana seperti itulah yang membuat kita menjadi manusia. Jangan biarkan teknologi justru menghilangkan potensi kemanusiaan kita, potensi yang diberikan tuhan. Sekali-kali keluarlah dari keriuhan dunia digital, raihlah satu buku, bacalah dan resapilah apa yang ada dalam buku itu.
Karena kita tidak tahu, di masa datang apakah buku masih akan tetap ada secara fisik atau akan menjadi barang langka yang dipamerkan di ruang etalase kaca museum. Atau akan seperti dunia dalam film “The Book of Eli” (2010), di mana seusai perang dunia hanya tersisa satu buku (kitab suci) yang diperebutkan, karena kebijaksanaan yang tersimpan di dalamnya.
Aku membaca buku, maka aku ada…
73 Komentar