RT - readtimes.id

Bagaimana Kita Merusak Bumi dari Meja Makan Kita Sendiri

Judul                : Merusak Bumi dari Meja Makan

Penulis             : M Faizi

Penerbit           : Cantrik Pustaka

Tahun Terbit   : Januari 2020

Tebal                : 140 hlm

Kita boleh bersuka cita atas datangnya Ramadhan. Namun demikian, sepatutnya pula kita menjadi umat yang kritis dan menjaga akal waras. Sebab, urusan menyantap makanan di meja makan yang tidak dikaji dapat menyumbang kerusakan pada bumi kita secara tidak langsung. Maka itu, perlu kita menghindari ironi ini.

Itulah salah satu pesan kuat yang termaktub dalam buku tipis berjudul “Merusak Bumi dari Meja Makan” ini. Melalui 22 esai pendek, ringan, dan reflektif ini, M. Faizi, penulis buku ini yang merupakan seorang kiai di Pondok Pesantren Annuquyah, Sumenep, Jawa Timur, mengajak kita merenungkan kembali hubungan kita sebagai makhluk beragama dengan alam, mengingatkan kembali tugas spritual kita pada kelestarian lingkungan hidup, dan tak lupa mengusulkan ke hadapan kita alternatif yang bisa kita ambil untuk menjaga lingkungan.

Bacalah satu esainya berjudul “Islam dan Makanan: Antara Halal, Sehat, dan Visi Lingkungan”. Di dalam esai itu penulis menjabarkan dengan sederhana perihal mengapa Islam begitu terkesan ribet dalam mengatur soal makanan atau pun aktifitas makan. Derajat makanan itu tinggi dan terhormat dalam Islam. Dia bukan semata urusan remeh yang terkait dengan usus 12 jari saja. Namun melampaui itu.

Bayangkan saja, kita bisa melangkah ke masjid, melakukan ibadah, melakukan gerakan salat dengan luwes, semuanya karena peran makanan di dalam tubuh kita. Sebab itulah makanan diatur dalam Islam. Adanya aturan agama berisi anjuran dan larangan dalam soal makanan ini juga punya tujuan atau perspektif sosial. Maka diaturlah dalam fiqih perihal haram-tidaknya, makruh-mubahnya. Misalnya, kasusnya menjadi tidak sederhana dalam statusnya ketika makanan yang kita santap didapatkan dengan cara yang tidak halal atau tidak baik.

Namun tulisan-tulisan di dalam buku ini tidak hanya berputar dalam lingkaran perspektif spiritual dan sosial saja. Namun juga menyentuh hubungan agama dengan lingkungan hidup atau alam. Kerap kali menggunakan teropong sufisme dalam memandang persoalan ini, penulis mengingatkan pada rantai panjang perjalanan makanan sebelum ia tersaji di meja makan kita. Mari kita kutip kalimat di halaman 123, “jangan sisakan remah-remah di piringmu. Ingatlah perjalanan bulir menjadi padi, menjadi gabah, menjadi beras, menjadi nasi, hingga ia tiba di hadapanmu. Ingatlah betapa berat tugas petani dalam menyiapkan semua itu demi makananmu.”

Lalu bagaimana bisa aktifitas makan kita yang tidak diatur dapat menyumbang pada kerusakan bumi? Baiknya kita mengambil kasus pada bulan Ramadhan saja. Pertama, sampah plastik. Kedua, tisu. Ketiga, sisa makanan. Tiga hal ini menjadi berlipat ganda produksi dan konsumsinya di bulan puasa. Perhatikan acara buka puasa bersama yang dilakukan di mana-mana, sampah plastic berhamburan. Perhatikan pula penggunaan tisu, betapa banyaknya. Lalu, yang memprihatinkan sisa makanan yang menjadi gunungan sampah (ini bisa menjadi lebih mengerikan jika konsepnya adalah prasmanan).

Begitulah ironi yang akan terjadi pada bulan suci ini jika persoalan ini tidak menjadi perhatian. Makanan belimpah tapi sebagian besar terbuang. Akhirnya kita menyumbang limbah dan sampah. Makanan dan minumannya masuk ke dalam tubuh kita dan segera diproses menjadi energi, namun bekas sampahnya—khususnya plastic—akan bertahan di bumi selama ratusan tahun.

Kisah Laila Majnun atau pun Romeo Juliet boleh abadi. Tapi ada yang lebih abadi dari itu. Apakah gerangan? Yaitu, “Ada, di antaranya adalah kotak Styrofoam, bungkus nasi Majnun dan Laila milenial, bungkus makan siang mereka berdua yang akan tetap ada di atas tanah saat mereka berdua sudah terkubur di baliknya.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: