Judul: Sang Jenderal
Penulis: HJ Friedericy
Penerjemah: Keumalahayati
Penerbit: Penerbit Ininnawa
Halaman: 175+xiv
Tahun Terbit: 2021
Bagi pembaca yang ingin mengetahui masa-masa senjakala kerajaan Bugis, novel “Sang Jenderal” yang ditulis oleh HJ Friedericy ini bisa menjadi alternatif. Kita akan memahami bagaimana konflik dalam masyarakat politik istana (antar kaum bangsawan), hubungan yang kian senjang antara elit dan rakyat, yang lantas dimanfaatkan oleh Kolonial Belanda untuk meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Bugis. Meski demikian, kita mesti hati-hati membaca fakta di dalamnya, karena bagaimanapun ini ditulis oleh orang Belanda yang kemungkinan besar berisi bias-bias orientalis.
HJ Friedericy, penulis “Sang Jenderal” ini, adalah pegawai kolonial Belanda yang pernah bertugas sebagai Pangreh Praja di Sulawesi Selatan. Dari profilnya, nampak jika Friedericy menaruh minat secara intelektual pada masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Bagaimana tidak, disertasinya pada 1933 berjudul “De Standen bij de Boeginezen en Makassaren” (Stratifikasi Masyarakat Bugis dan Makassar) berhasil ia pertahankan. Kemudian ia kembali ditugaskan di beberapa tempat di Nusantara oleh pemerintah kolonial.
“Sang Jenderal” sendiri berkisah perihal kehidupan kelas elit kerajaan beserta konflik dan intrik politiknya yang berlatar Kerajaan Bone (Bugis) abad 19 hingga paruh awal abad 20–dengan kata lain, masa menjelang keruntuhan kerajaan Bone oleh ekspedisi militer Belanda. Secara garis besar, cerita berpusat pada tokoh Mappa, Aru Bontorihu, menggantikan ibunya.
Novel ini memiliki dua bagian dengan jangka titimangsa tertentu—bagian pertama (1870—1890); bagian kedua (1890—1906). Alurnya sederhana, dirangkai serupa roman—dimulai dengan perkenalan sang tokoh beserta latar sosial istana (dan sedikit latar sosial rakyat jelata), lalu berlanjut ke perkembangan karakter tokoh seiring dengan ambisi dan kekuasaan baru si tokoh, dan berakhir pada kejatuhan kerajaan yang diikuti dengan perburuan si tokoh utama–Mappa.
Saya mencatat beberapa kesan sekilas saya pada beberapa bagian menarik dari novel ini, sekaligus pembacaan kritis terhadap si penulis sebagai bagian orientalis (bagaimana perspektif Eropasentris bekerja dalam menilai masyarakat non-eropa). Pertama, novel ini dibuka dengan pengangkatan seorang Aru Bontorihu yang baru, yang kebetulan diampu seorang perempuan. Penulis menggambarkan si tokoh perempuan ini dengan kesan yang relatif tidak begitu mengundang simpati—pemarah, kejam, menindas rakyat, hingga meninggalnya pun karena semacam rasa sakit hati.
Kedua, karakter para bangsawan Bugis Bone yang digambarkan kejam pada rakyat alias sewenang-wenang (termasuk Aru perempuan yang disebut di poin pertama), juga tidak terlalu bernuansa religius meskipun Islam telah diterima (mabuk, judi, dan seks bebas masih biasa terjadi). Pusat penceritaan novel ini memang nyaris sepenuhnya berkisar pada dunia istana, jadi kita hanya akan melihat konflik-konflik masyarakat istana belaka. Nuansa betapa tajamnya intrik politik dalam kerajaan Bugis sangat terasa. Seakan tak ada ruang sama sekali bagi kenyataan lain semisal perbincangan menyangkut fungsi atribut kerajaan terhadap persoalan menyangkut kehidupan rakyat kecil.
Ketiga, pengaturan mesin kehidupan istana yang memberikan gambaran sistem tradisional kerajaan Bone. Saya kira, bagian ini akan menjadi bagian yang eksotis bagi pembaca Eropa. Meski ada upaya bagi penulis menjelaskan fungsi mistis dari setiap tradisi maupun ritual, namun saya menangkap penulis masih mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang eksotis.
Kenapa saya mencatat tiga hal tersebut? Karena ini relate sekali dengan penjelasan karakter masyarakat Asia Tenggara oleh Anthony Reid dalam dua jilid bukunya: Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680. Dan Anthony Reid kerap kali merujuk pada sejarah Sulawesi Selatan. Misalnya, praktik pernikahan usia belasan tahun sudah lazim terjadi dalam masyarakat Asia Tenggara. Dan dalam novel ini juga kita akan melihat fenomena itu dengan sangat terang.
Meskipun demikian, sebagai referensi dalam melengkapi pemahaman kita terhadap sejarah kerajaan Bugis masa menjelang keruntuhannya, “Sang Jenderal” ini tetap penting dibaca dan dianalisa. Khususnya dalam memahami pandangan dunia orang Eropa kaum orientalis terhadap masyarakat Hindia Belanda. Dan ya, melalui “Sang Jenderal” inilah kita melihat bagaimana jika seorang orientalis menulis Bugis.
Secara teknis buku ini padat oleh deskripsi, alurnya sederhana dan tidak membosankan. Bagian terakhir malah mengundang penafsiran–apa motif Sampara Daeng Malewa mengaku sebagai Aru Bontorihu bernama Mappa yang notabene musuh besarnya dan sedang diburu Belanda itu? Solidaritas perjuangan atau apa?
Novel ini terbilang klasik, dalam bahasa Indonesia sudah pernah diterbitkan pada 1991 oleh penerbit Pustaka Utama Grafiti, dan pada 2021 ini, atas pertimbangan banyak pihak yang mulai menaruh minat pada sejarah Sulawesi Selatan, maka diterbitkan ulang oleh penerbit Ininnawa Makassar.
Sesungguhnya novel ini memiliki pasangannya, berjudul “Sang Penasihat”. Dan ini patut kita tunggu!
44 Komentar