Readtimes.id– Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membantah pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebut Indonesia mengeluarkan Rp1.000 triliun tiap tahun untuk membayar utang.
“Kita tidak mengeluarkan Rp1.000 T per tahun untuk membayar utang seperti yang disampaikan oleh Pak JK,” ujar Stafsus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam cuitannya di Twitter, dikutip Jumat (2/6/2023).
Pada cuitannya, Yustinus juga menyertakan foto tabel pengeluaran pembiayaan. Di situ terlihat pemerintah membayar pokok dan bunga utang pada 2021 senilai Rp 902,37 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
“Dalam pembayaran pokok dan bunga utang, pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga. Berikut datanya, transparan tiada yang perlu ditutupi, sudah diaudit BPK,” sebut Yustinus.
Indonesia sejauh ini disebut patuh terhadap aturan fiskal. Hal ini terlihat dari kenaikan PDB Indonesia yang lebih besar daripada utang, saat mayoritas negara ASEAN dan G20 disebut mengalami kenaikan utang lebih tinggi daripada PDB.
Risiko utang Indonesia juga disebut menurun tajam. Hal ini ditandai dengan debt service ratio/DSR dari 2020 sebesar 47,3 persen menjadi 34,4 persen pada 2022 dan menurun lagi per April 2023 menjadi 28,4 persen. DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan.
Interest ratio (rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan) juga disebut menurun, dari 19,3 persen pada 2020, menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023.
“Penurunan DSR dan IR ini menunjukkan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat,” tambahnya.
Dalam hal rating, Indonesia masih dipandang mampu dalam pengelolaan utang. Lembaga-lembaga pemeringkat kredit seperti Standard & Poor’s, Moody’s, dan Fitch memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil di saat banyak negara mengalami downgrade.
Yustinus menyebut utang pemerintah yang senilai Rp 7.849,89 triliun per April 2023 memiliki efek pengganda yang besar. Hal itu terlihat dari pertumbuhan aset yang nilainya melebihi penambahan utang.
“Sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp 5.125,1 (triliun) masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas (Perlinsos, Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur) sebesar Rp 8.921 triliun,” pungkasnya.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar