Readtimes.id– Social commerce menjadi primadona baru bagi masyarakat dalam berbelanja. Menurut laporan dari Populix, 86 persen masyarakat Indonesia pernah berbelanja melalui platform media sosial.
Penggunaan TikTok Shop misalnya, kini bahkan mulai bersaing dengan e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia. Menurut survei perusahaan e-logistik Ninja Van yang bertujuan memahami fenomena berbelanja menggunakan live streaming, ada sekitar 27,5 persen responden Indonesia menggunakan TikTok Shop, sementara Shopee di angka 26,5 persen.
Baca Juga : Mendulang Cuan dari Live Streaming
Hal ini bahkan diakui oleh Deputi Gubernur BI Doni P Joewono yang melaporkan bahwa pada 2022 BI mencatat, transaksi e-commerce Rp 476,3 triliun tahun lalu. Angka ini di bawah target BI Rp 489 triliun. Pihaknya menduga penurunan pertumbuhan transaksi e-commerce di Indonesia itu karena menjamurnya tren social commerce seperti TikTok.
Baca Juga : Daya Pikat Social Commerce yang Kian Dilirik
Jika demikian lantas bagaimana dengan nasib e-commerce ke depan? Benarkah mereka akan ditinggalkan seiring dengan minat belanja masyarakat melalui media sosial makin meningkat?
Pakar e-commerce Lestari Nurhajati mengungkapkan bahwa e-commerce akan tetap bertahan melihat ada beberapa hal yang tidak didapatkan oleh konsumen yang menggunakan social commerce.
Salah satunya adalah keamanan berbelanja. Menurut Wakil Rektor IV Institut Komunikasi dan Bisnis London School of Public Relations (LSPR) ini, social commerce belum bisa menjamin hal keamanan berbelanja.
“Karena pada dasarnya mereka itu bukan platform berjualan sebenarnya. Berbeda dengan e-commerce yang memang platform berbisnis yang memiliki aturan ketat bagi para penjualnya untuk melindungi konsumen,” terang Lestari saat dihubungi oleh readtimes.id.
Lebih lanjut menurutnya masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi seperti di perkotaan yang menjadi target besar pasar e-commerce tentu akan melihat keamanan berbelanja tersebut sebagai sesuatu yang penting di samping kualitas barang.
“Jadi yang penting itu adalah pelayanan, menurut saya yang harus terus ditingkatkan kualitasnya oleh e-commerce kalau mau bertahan,” tambahnya.
Selain itu menurut dosen LSPR ini membatasi masa “bakar uang” juga perlu diperhatikan oleh para petinggi e-commerce yang selama ini memiliki model bisnis ala startup.
“Kalau tidak mau gulung tikar seperti JD. ID kemarin misalnya ya bakar-bakar uang dari investor itu dibatasi lah. Di tahun pertama kedua ketiga boleh lah, tapi jangan keterusan. Strategi semacam itu juga harus diperbaiki,” pungkasnya.
Baca Juga : Price Oriented Jadi Sebab Banyak E-commerce di Indonesia Gulung Tikar
462 Komentar